TEMPO.CO, Jakarta - Hajar Wahab, 22 tahun, seorang mahasiswi di Malaysia, mencoba untuk melawan apatisme politik dan memberi penyuluhan soal pemilu pada pemilih pemula tentang proses pemungutan suara menjelang pemilu Malaysia yang ketat pada 19 November. Hajar juga menjabat sebagai Ketua Organisasi Mahasiswa seluruh Malaysia
Di sebuah ruang makan di Universitas Islam Internasional Malaysia, Hajar berdiri di samping tempat pemungutan suara darurat, saat dia menunjukkan kepada sesama mahasiswa cara menandai dan memberikan suara pemilihan.
Menurutnya yang dipertaruhkan saat ini adalah stabilitas pemerintah. Malaysia terakhir kali menyelenggarakan pemilu pada 2018. Semenjak itu, Malaysia telah dipimpin tiga perdana menteri. Wahab telah menyaksikan runtuhnya dua pemerintahan, sementara dua koalisi oposisi utama terpecah.
Gejolak politik di Malaysia telah menguras tenaga para pemilih, dengan dua pemilihan lokal yang diadakan dalam satu tahun terakhir menunjukkan jumlah pemilih yang lebih rendah dari rata-rata. Hajar mengatakan meski kelelahan itu bisa dimaklumi, penting bagi anak muda untuk menyuarakan kekesalannya di kancah nasional.
"Itu akan semakin mendorong Anda untuk memilih," kata Hajar.
Kelompok pemilih muda di Malaysia cukup besar, yakni sekitar enam juta orang yang baru berhak memberikan suara. Hal itu karena dampak reformasi yang menurunkan usia pemilih dari 21 tahun menjadi 18 tahun dan memungkinkan pendaftaran otomatis. Pemilih di bawah usia 40 tahun sekarang merupakan setengah dari 21 juta pemilih.
Upaya para mahsiswa seperti Hajar tampaknya membuahkan hasil. Jajak pendapat terbaru menunjukkan jumlah pemilih akan meningkat di tengah masuknya pemilih baru dan saat kampanye meningkat menjelang hari pencoblosan.
“Pemilih muda merasa bahwa ini adalah pemilu penting yang tidak boleh mereka lewatkan, terutama kaum muda yang baru pertama kali memilih,” kata Ibrahim Suffian, Direktur lembaga survei independen Merdeka Center.
Baca juga: PM Inggris Liz Truss Mundur Buntut dari Krisis Politik
Menurutnya, kekhawatiran atas stabilitas dan kepemimpinan pemerintah datang pada saat inflasi meningkat dan prospek ekonomi yang mendung. Kondisi ini mendorong jumlah pemilih dalam pemilu Malaysia 2022.
Aliansi pendukung Perdana Menteri Malaysia Ismail Sabri, Barisan Nasional saat ini mencari mandat yang lebih kuat, dan menjauhkan diri dari skandal korupsi 1MDB bernilai miliaran dolar. Barisan Nasional menghadapi dua pesaing besar dalam pemilu ini. Pertama pemimpin oposisi anti kemapanan Anwar Ibrahim, dan kedua adalah mantan Perdana Menteri Muhyiddin Yassin, yang dipaksa keluar dari jabatannya setelah menghadapi Najib terkait 1MDB.
Beberapa partai kecil lainnya juga bersaing dalam pemilihan yang akan melihat 945 kandidat bersaing memperebutkan 222 kursi anggota parlemen Malaysia, sebuah faktor yang dapat membagi suara menjadi beberapa cara.
Blok saingan kemungkinan perlu membentuk aliansi karena tidak ada partai atau koalisi tunggal yang dapat memenangkan cukup kursi parlemen dan membentuk pemerintahan sendiri. Muhammad Imran Hazem Ashari, 22 tahun, warga Malaysia, mengatakan akan memilih partai mana pun yang dapat memberi stabilitas.
Beberapa pemilih tetap tidak tertarik oleh pertikaian politik yang terus-menerus, percaya bahwa pilihan mereka akan berdampak kecil. Eddie Putera Noordin, 55 tahun, seniman, mengatakan dia merasa memilih adalah kejahatan karena dia tidak percaya pada kandidat atau partai yang bersaing.
"Saya takut memilih karena siapa pun yang Anda pilih akan menjadi bagian dari koalisi yang lemah. Mereka harus membentuk aliansi dengan partai-partai yang ditolak dalam pemilihan, dan pada akhirnya akan membentuk pemerintahan yang sama," kata Eddie.
REUTERS | Nugroho Catur Pamungkas
Baca juga: Anwar Ibrahim Tuding Militer Lakukan Kecurangan dalam Pemilu Malaysia
Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini.