TEMPO.CO, Jakarta - Ketika Roi Nu sedang duduk di beranda rumahnya pada Minggu sore, 23 Oktober 2022, dia melihat siluet hitam melesat di angkasa membelah cakrawala yang diikuti sebuah kilatan cahaya yang menerangi langit.
“Kami di sini tidak ada internet, jadi kami tidak tahu apa yang terjadi,” kata Roi Nu, bukan nama sebenarnya demi alasan keamanan.
Roi Nu tinggal di Hpakant, negara bagian Kachin, Myanmar. Kota Hpakant terkenal dengan pertambangan batu giok.
Roi Nu baru tahu apa yang terjadi saat teman dan sanak keluarganya meneleponnya untuk memastikan dia masih hidup. Ketika itu, militer Myanmar rupanya diketahui menjatuhkan empat bom dalam sebuah acara pertunjukan musik di Desa A Nang Pa, yang terletak 30 kilometer ke arah timur laut Kota Hpakant.
Area itu saat ini dikendalikan oleh Organisasi Kemerdekaan Kachin, yang sejak 1960 memperjuangkan diri agar bisa lepas dari Myanmar dan menjadi negara merdeka. Organisasi Kemerdekaan Kachi sejak kudeta militer pada Februari 2021 bersekutu dengan kelompok-kelompok pro-demokrasi.
Baca juga: Amerika Kembali Beri Bantuan Militer ke Ukraina, Termasuk HAWK
Sehari setelah kejadian pemboman tersebut, Roi Nu mendapat pesan singkat yang memintanya ikut membantu mengevakuasi korban luka-luka dan mengidentifikasi korban tewas. Namun saat dia tiba di Desa Ginsi, Roi Nu dihalang-halangi oleh sejumlah tentara. Militer Myanmar juga untuk sementara memutus jaringan telepon selular di area tersebut demi membatasi masuknya massa ke kota itu.
Peristiwa pengeboman di acara pertunjukan musik di Desa A Nang Pa memakan korban jiwa 62 orang. Sedangkan korban luka-luka sebanyak 62 orang.
Keluarga menunggu di luar penjara Insein saat Junta Myanmar membebaskan tahanan termasuk orang-orang yang memprotes kudeta militer, di Yangon, Myanmar 18 Oktober 2021. [REUTERS/Stringer]
Khin Ohmar, aktifis dari Progressive Voice of Myanmar, mengungkap aksi kekerasan di bawah kekuasaan junta militer, belum hilang. Guru, dokter dan perawat menjadi target militer.
“Pernah ada kejadian, pagi-pagi para murid mulai berdatangan ke sekolah dan mereka terkejut saat membuka ruang kelas, guru mereka dalam kondisi digantung di langit-langit ruang kelas,” kata Khin, 2 November 2022.
Catatan LSM Altsean Burma menyebut sampai 6 Oktober 2022, setidaknya 2.338 warga sipil Myanmar tewas di tangan tentara Myanmar. Ada 15.770 orang yang ditahan dan 126 orang yang sudah menjalani eksekusi hukuman mati, yang di antaranya anak-anak.
Tingginya angka korban tewas dalam konflik Myanmar itu menggambarkan kengerian mengingat kudeta militer Myanmar baru berjalan setahun. Sebagai perbandingan, United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (OCHA) memperkirakan selama tujuh tahun berkecamuk perang Yaman, sudah satu perempat juta orang tewas.
Sedangkan HAM PBB memperkirakan korban tewas dalam 10 tahun perang Suriah atau sampai Juni 2022 sudah lebih dari 306 ribu warga sipil tewas. Adapun korban tewas dalam perang Afganistan sejak 2001 sampai 2021 sekitar 243 ribu dan dari jumlah itu lebih dari 70 ribu adalah warga sipil.
Penyiksaan tahanan
Khin dalam wawancara dengan Tempo juga mengungkap kondisi mereka yang ditahan oleh militer Myanmar sangat memprihatinkan. Berdasarkan kesaksian para tahanan yang sudah dibebaskan dan informasi dari Biksu, tahanan perempuan dalam penjara ada yang menjadi korban perkosaan.
“Ada yang dibakar hidup - hidup, ada tahanan yang tidak memperbolehkan kunjungan keluarga, ada juga tahanan yang enggak di sidang-sidang,” kata Khin.
Kehidupan sehari-hari warga sipil Myanmar, juga amat memprihatinkan. Kyaw Win, Direktur Eksekutif Burma Human Rights Network di London, mengatakan saat ini masyarakat Myanmar menghadapi bencana kemanusiaan. Tidak ada bantuan medis untuk lansia, anak-anak, ibu hamil, dan penyandang disabilitas
Negara bagian Kachin, Sagaing, Magwe, Chin, Karenni, Karen dan Rakhine mengalami pertempuran hebat antara junta militer dan kelompok-kelompok revolusionari di negara-negara bagian itu. Junta militer menggunakan jet tempur SU30 menembaki desa-desa hingga menewaskan ratusan ribu warga sipil.
Junta militer membakar desa-desa yang menolak pemerintah militer Myanmar. Walhasil semakin banyak warga yang kehilangan tempat tinggal atau tercerai-berai.
“Tidak ada bantuan bagi kalangan rentan. Ada lebih dari satu juta orang saat ini menghadapi bencana kemanusiaan,” ujar Kyaw kepada Tempo, Jumat, 4 November 2022.
Jatuhkan sanksi
Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) pada Senin, 31 Oktober 2022, mempublikasi sebuah hasil jajak pendapat. Shofwan Al Banna Choiruzzad, Pengawas survei dan Dosen Hubungan Internasional dari Universitas Indonesia, mengungkap dari 549 responden Indonesia, semuanya familiar dengan isu myanmar.
Hanya saja, segmen responden yang dipilih adalah yang familiar dengan isu internasional sehingga tidak merepresentasikan demografi keseluruhan penduduk Indonesia. Survei juga hanya ditanyakan ke target responden tertentu yakni akademisi, pelaku bisnis, NGO, PNS, dan mahasiswa sehingga kecenderungannya cukup familiar dengan isu-isu internasional
Survei juga mengungkap Myanmar masih menjadi masalah di kawasan ASEAN. Ada responden yang menilai penyelesaian krisis tidak di jalur yang seharusnya.
Setelah konsensus 5 poin yang dibuat ASEAN tidak mempan untuk membuat pemerintah militer Myanmar menghentikan kekerasan, Debbie Stothard, aktivis dari Altsean, mengungkap sekarang ini sudah saatnya menjatuhkan sanksi ke Pemerintah militer Myanmar. Sebab junta militer menggunakan revenue negara untuk membeli senjata.
“Kalangan masyarakat miskin tidak merasakan revenue tersebut. Sanksi ekonomi akan sangat memukul Junta atau bisa pula jatuhkan sanksi diplomatik,” kata Stothard.
Dia menyebut, di Myanmar ada sejumlah perusahaan minyak asing yang beroperasi. Kondisi ini bisa digunakan dengan meminta mereka angkat kaki dari Myanmar sebagai bentuk sanksi.
Sumber: watson.brown.edu | frontiermyanmar.net
Baca juga: Amnesty: Junta Myanmar Mengalihkan Bahan Bakar Sipil ke Militer
Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini