TEMPO.CO, Jakarta - Invasi Rusia ke Ukraina menyebabkan krisis ekonomi global, namun tidak bagi Georgia. Negara kecil tetangga dekat Rusia ini malah meraup ledakan ekonomi yang tak terduga.
Georgia berada di jalur untuk menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan tercepat di dunia tahun ini menyusul masuknya lebih dari 100.000 orang Rusia secara dramatis sejak invasi Moskow ke Ukraina dan upaya mobilisasi Vladimir Putin untuk menghidupkan rekrutan perang.
Ketika sebagian besar dunia terhuyung-huyung menuju resesi, negara berpenduduk 3,7 juta orang yang berbatasan dengan Laut Hitam ini diperkirakan akan mencatat pertumbuhan 10% pada 2022 di tengah naiknya konsumsi, menurut lembaga internasional.
"Di sisi ekonomi, Georgia baik-baik saja," kata Vakhtang Butskhrikidze, CEO bank terbesar di negara itu TBC, kepada Reuters dalam sebuah wawancara di kantor pusatnya di Tbilisi.
"Ada semacam ledakan," katanya. "Semua industri berjalan sangat baik dari mikro hingga korporasi. Saya tidak bisa melihat adanya industri yang tahun ini bermasalah."
Setidaknya 112.000 orang Rusia telah beremigrasi ke Georgia tahun ini, statistik lintas batas menunjukkan. Gelombang besar pertama 43.000 tiba setelah Rusia menginvasi Ukraina pada 24 Februari dan Putin menekan semua yang menentang perang. Gelombang kedua datang setelah Putin mengumumkan upaya mobilisasi nasional pada akhir September.
Ledakan ekonomi Georgia - baik berumur pendek atau tidak - telah membingungkan banyak ahli yang melihat konsekuensi mengerikan dari perang untuk bekas republik Soviet dengan pemasukan tergantung ekspor dan wisata.
Bank Eropa untuk Rekonstruksi dan Pembangunan (EBRD), misalnya, pada Maret lalu memperkirakan konflik Ukraina akan memberikan pukulan besar bagi perekonomian Georgia. Demikian juga perkiraan Bank Dunia pada bulan April bahwa pertumbuhan negara itu pada 2022 akan turun menjadi 2,5% dari 5,5%.
"Terlepas dari semua harapan yang kami miliki ... bahwa perang di Ukraina ini akan memiliki implikasi negatif yang signifikan terhadap ekonomi Georgia, sejauh ini kami tidak melihat terwujudnya risiko ini," kata Dimitar Bogov, ekonom utama EBRD untuk Eropa Timur dan Kaukasus.
"Sebaliknya, kami melihat ekonomi Georgia tumbuh cukup baik tahun ini, dua digit."
Namun pertumbuhan akibat gelombang kedatangan warga Rusia tidak menguntungkan semua orang. Harga konsumsi dalam negeri naik, termasuk biaya sewa rumah.
Para pemimpin bisnis juga khawatir, negara itu akan mengalami kemunduran ekonomi ketika perang berakhir dan pengungsi Rusia kembali ke nagaranya.
Membawa dana segar Rp 15 triliun
Georgia sendiri terlibat perang singkat dengan Rusia pada 2008 atas Ossetia Selatan dan Abkhazia, wilayah yang dikuasai oleh separatis yang didukung Rusia.
Namun, sekarang, ekonomi Georgia menuai keuntungan dari kedekatannya dengan negara adidaya - keduanya berbagi perbatasan darat - dan kebijakan imigrasi liberal yang memungkinkan orang Rusia dan orang-orang dari banyak negara lain tinggal, bekerja, dan mendirikan bisnis di negara itu tanpa visa.
Selain itu, mereka yang melarikan diri dari perang Rusia disertai dengan gelombang uang.
Antara April dan September, Rusia mentransfer lebih dari $1 miliar atau Rp15,6 triliun ke Georgia melalui bank atau layanan pengiriman uang, lima kali lebih tinggi daripada selama bulan yang sama tahun 2021, menurut bank sentral Georgia.
Aliran masuk itu telah membantu mendorong mata uang Georgia Lari ke level terkuatnya dalam tiga tahun.
Sekitar setengah dari pendatang Rusia berasal dari sektor teknologi, menurut CEO TBC Butskhrikidze dan outlet media lokal, sesuai dengan survei dan perkiraan dari tokoh industri di Rusia yang menunjukkan eksodus puluhan ribu pekerja TI yang sangat mobile setelah invasi.
"Ini adalah orang-orang kelas atas, orang kaya ... datang ke Georgia dengan beberapa ide bisnis dan meningkatkan konsumsi secara drastis," kata Davit Keshevava, peneliti senior di International School of Economics di Tbilisi State University (ISET).
"Kami memperkirakan perang memiliki banyak dampak negatif," katanya. "Tapi ternyata sangat berbeda. Ternyata positif."
Rumah Sewa Diborong Rusia
Tidak ada dampak yang lebih nyata dari pendatang baru selain di pasar sewa perumahan di ibu kota, di mana peningkatan permintaan memperburuk ketegangan.
Sewa rumah di Tbilisi naik 75% tahun ini, menurut analisis oleh bank TBC, dan beberapa berpenghasilan rendah dan mahasiswa menemukan diri mereka di tengah apa yang aktivis katakan sebagai krisis perumahan yang berkembang.
Georgia Nana Shonia, 19 tahun, menyetujui kontrak dua tahun untuk sebuah apartemen pusat kota dengan harga $150 per bulan, hanya beberapa minggu sebelum Rusia menyerbu. Pada bulan Juli, pemiliknya mengusirnya, memaksanya pindah ke lingkungan yang lebih buruk di pinggir kota.
"Dulu saya 10 menit ke kantor. Sekarang minimal 40 menit, saya harus naik bus dan metro dan sering terjebak macet," katanya.
Helen Jose, seorang mahasiswa kedokteran berusia 21 tahun dari India, telah menumpang di kamar temannya selama sebulan setelah sewanya berlipat ganda selama liburan musim panas.
"Sebelumnya sangat mudah untuk menemukan apartemen. Tapi begitu banyak teman saya yang dusir, karena ada orang Rusia yang mau membayar lebih dari kami," katanya.
Universitas juga telah melaporkan sejumlah besar siswa yang menunda studi mereka di Tbilisi karena tidak mampu membayar akomodasi di kota, kata Kesheva di ISET.
Reuters