TEMPO.CO, Jakarta - Warga Palestina merasa khawatir eskalasi konflik dengan Israel akan terus berlanjut jika Benjamin Netanyahu kembali menjadi Perdana Menteri Israel. Netanyahu sementara unggul dalam hitung cepat pemilu Israel.
Baca: Amerika Akan Membela Arab Saudi Jika Iran Menyerang
Pemilu pada Selasa, 1 November 2022, berlangsung di tengah kekerasan antara Palestina dan Israel. Lebih dari 100 warga Palestina dari Tepi Barat yang diduduki Israel telah dibunuh oleh pasukan Israel pada tahun ini, sementara serangkaian serangan jalanan yang fatal oleh warga Palestina telah menewaskan 20 orang di Israel dan permukiman Israel.
Para pejabat Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza mengatakan corak ultranasionalis dari kemungkinan aliansi Netanyahu, termasuk penghasut Itamar Ben-Gvir, yang pernah menganjurkan pengusiran warga Palestina, memicu kekhawatiran atas ketegangan lebih lanjut.
“Tidak diragukan lagi hasil dari koalisi semacam itu akan meningkatkan sikap bermusuhan terhadap rakyat Palestina dan membuat tindakan pendudukan menjadi lebih ekstrem,” kata anggota Komite Eksekutif Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), Bassam Salhe, kepada Reuters di kota Ramallah, Tepi Barat.
Kelompok Hamas, yang telah berperang beberapa kali dengan Israel selama dekade terakhir, memperkirakan hasilnya menunjukkan bakal lebih banyak potensi kekerasan.
“Jelas bahwa Israel condong ke arah lebih ekstremisme, yang juga berarti agresi terhadap rakyat kami akan meningkat," kata juru bicara Hamas, Hazem Qassem.
“Pemerintah yang dipimpin Netanyahu, yang meluncurkan beberapa perang melawan rakyat Palestina, dan kehadiran tokoh-tokoh paling ekstrem dalam koalisi berarti bahwa kami akan menghadapi lebih banyak terorisme Zionis,” Qassem menambahkan.
Tidak Ada Perdamaian
Juru bicara Presiden Palestina Mahmoud Abbas, yang menjalankan otonomi terbatas atas kota-kota Palestina di Tepi Barat, menolak mengomentari hasil hitung cepat pemilu. Ia mengatakan mereka akan menunggu hasil akhir.
Sementara negosiasi antara Otoritas Palestina dan Israel terhenti, kedua pihak telah melakukan kontak pada tahun ini. Abbas bertemu dengan Menteri Pertahanan Benny Gantz untuk menenangkan ketegangan dan mengoordinasikan langkah-langkah keamanan.
Pada September lalu, Abbas menyambut seruan Perdana Menteri Yair Lapid untuk solusi dua negara sebagai perkembangan positif. Netanyahu, sebaliknya, telah lama menentang negara Palestina.
Reham Owda, seorang analis politik Palestina di Gaza, mengatakan proses perdamaian dan Otoritas Palestina khususnya mungkin menjadi pecundang utama dari kembalinya Netanyahu, mengingat permusuhan pribadinya dengan Abbas dan perlawanannya terhadap solusi dua negara.
“Dengan Netanyahu, slogannya adalah tidak ada perdamaian, tidak ada solusi dua negara, lebih banyak pemukiman, dan fokusnya adalah pada Iran,” katanya kepada Reuters. “Tantangan terbesarnya adalah bagaimana mendapatkan kembali ketenangan di Tepi Barat, menghadapi perlawanan Palestina yang meningkat, dan melindungi permukiman dan pemukim.”
Dalam kekerasan terbaru di Tepi Barat, pasukan Israel menembak mati seorang pria Palestina pada Rabu, 2 November 2022, yang diduga menabrakkan mobil ke sebuah pos pemeriksaan yang menyebabkan seorang tentara Israel terluka parah.
Kekerasan juga meningkat pada Agustus lalu di Gaza. Setidaknya 49 orang termasuk 17 anak-anak tewas dalam 56 jam pertempuran yang dimulai dengan serangan udara untuk mencegah kelompok Jihad Islam menembakkan ratusan rudal ke Israel.
“Rakyat Palestina tidak akan mendapatkan apa-apa dari pemerintah ini kecuali perang, penghancuran, pembunuhan, pertumpahan darah, penghancuran rumah, penghancuran tanah, dan pembangunan lebih banyak permukiman dengan mengorbankan rakyat Palestina,” kata Youssef Khattab, seorang direktur televisi di Jalur Gaza.
Baca: Ukraina Usulkan Rusia Dikeluarkan dari G20, Ini Tanggapan Indonesia
AL ARABIYA | REUTERS