Afghanistan memiliki lebih dari 300 hakim perempuan yang memimpin departemen peradilan yang biasanya menangani masalah perempuan hingga kasus kriminal dan terorisme.
Kini, ratusan hakim telah melarikan diri ke negara lain, dan sekitar 70 hakim perempuan bersembunyi dan tidak bisa bekerja.
“Mereka memberi tahu kami pengacara dan hakim wanita tidak kompeten dan tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang hukum Islam untuk bekerja di bidang ini,” kata Marzia.
Selama konferensi pers September lalu di mana Hizbullah Ibrahimi, kepala direktorat penelitian dan inspeksi Mahkamah Agung Taliban, menolak kebutuhan akan hakim perempuan.
“Dalam sistem sebelumnya, hakim perempuan memutuskan kasus berdasarkan undang-undang dan tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang yurisprudensi dan prinsip-prinsip Syariah,” katanya. “Kami belum membutuhkan mereka sampai sekarang, dan kami belum memahami perlunya mereka untuk kembali.”
Marzia menuduh Taliban berprasangka buruk terhadap perempuan dan gagal memberi perempuan hak-hak Islam mereka, termasuk perceraian.
“Tanpa perempuan di pengadilan, korban perempuan tidak dapat mencari bantuan formal dan bantuan dari pengadilan,” katanya. “Mereka tidak memiliki akses ke hak-hak dasar mereka seperti perceraian. Ini adalah kerugian besar bagi hak-hak perempuan dan HAM.”
Juru bicara kementerian kehakiman Abdul Hameed Jahadyar mengatakan kepada Al Jazeera bahwa kasus perceraian dan kekerasan dalam keluarga telah didengar pada tahun lalu.
Di Kabul saja, katanya, 341 kasus perceraian “diselesaikan”. Dia tidak menjelaskan berapa banyak perceraian yang sebenarnya diselesaikan.
Marzia mengatakan melakukan perceraian di Afghanistan selalu menjadi tantangan bagi perempuan. Dalam setahun terakhir terdapat kasus di mana hakim-hakim Taliban menolak menceraikan perempuan karena mereka percaya perempuan tidak memiliki hak itu.
“Perempuan-perempuan ini dipaksa untuk kembali ke pelakunya yang akan lebih menyakiti mereka sebagai balas dendam karena pergi ke pengadilan,” katanya.