TEMPO.CO, Jakarta - Setidaknya 150 orang tewas selama dua hari terakhir dalam perang suku yang dipicu sengketa tanah di negara bagian Blue Nile di wilayah selatan Sudan. Ini adalah pertumpahan darah terburuk dalam beberapa bulan terakhir.
Baca: PM Inggris Liz Truss Mundur, Ini 4 Nama yang Mungkin Jadi Pengganti
Pada Kamis, 20 Oktober 2022, orang-orang turun ke jalan-jalan di ibu kota negara bagian, Damazin, meneriakkan slogan-slogan yang mengutuk konflik yang telah menewaskan ratusan orang pada tahun ini.
“Total 150 orang termasuk wanita, anak-anak, dan orang tua tewas antara Rabu dan Kamis," kata Abbas Moussa, kepala rumah sakit Wad al-Mahi seperti dikutip Al Jazeera. “Sekitar 86 orang juga terluka dalam kekerasan itu.”
Bentrokan di Blue Nile pecah pekan lalu setelah ada laporan tentang pertengkaran atas tanah antara anggota suku Hausa dan kelompok-kelompok pesaingnya. Penduduk setempat melaporkan ratusan orang melarikan diri dari tembakan yang intens dan rumah-rumah dibakar.
Pertempuran itu berpusat di sekitar daerah Wad al-Mahi dekat Roseires, 500 km selatan ibu kota Khartoum. Pada Kamis itu, ratusan orang berbaris melalui Damazin, beberapa di antaranya menyerukan agar gubernur negara bagian itu dipecat. “Katakan tidak pada kekerasan,” teriak para demonstran.
Kepala bantuan PBB untuk Sudan, Eddie Rowe, mengatakan sangat prihatin terhadap bentrokan yang terus berlanjut. Ia melaporkan 170 orang belum terkonfirmasi telah tewas dan 327 lainnya terluka sejak kerusuhan terbaru pecah pada 13 Oktober lalu.
Menurut Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA), bentrokan suku yang meletus sejak Juli lalu telah menewaskan 149 orang pada awal Oktober. Pekan lalu, bentrokan terjadi lagi yang menewaskan 13 orang.
Bentrokan pada Juli lalu melibatkan Hausa, suku dengan asal-usul di Afrika Barat, dan orang-orang suku Berta, karena sengketa tanah. Kamis lalu, sebuah kelompok yang mewakili suku Hausa mengklaim telah diserang oleh orang-orang bersenjata berat selama dua hari terakhir, tetapi tidak menyalahkan suku atau kelompok tertentu tertentu atas serangan itu.
Hausa mengeluarkan pernyataan yang menyerukan pengurangan intensitas konflik serta penghentian genosida dan pembersihan etnis Hausa. Suku itu telah lama terpinggirkan dalam masyarakat Sudan. Kekerasan pada Juli lalu memicu serangkaian protes suku Hausa di seluruh negeri.
Blue Nile adalah rumah bagi lusinan kelompok etnis berbeda, dengan ujaran kebencian dan rasisme yang sering mengobarkan ketegangan suku selama beberapa dekade.
OCHA menyatakan bentrokan suku di dekat provinsi Kordofan Barat, yang pecah pekan lalu, menewaskan 19 orang dan melukai puluhan lainnya. Baku tembak di sana antara kelompok etnis Misseriya dan Nuba meletus di tengah sengketa tanah di dekat kota Al Lagowa.
“Pertempuran di Kordofan Barat dan negara bagian Blue Nile berisiko menyebabkan pengungsian lebih lanjut dan penderitaan manusia,” demikian pernyataan OCHA. "Ada juga risiko eskalasi dan penyebaran pertempuran dengan konsekuensi kemanusiaan tambahan.”
Menurut OCHA, kekerasan di Kordofan Barat mendorong sekitar 36.500 orang melarikan diri dari Al Lagowa sementara banyak orang tetap mencari perlindungan di pangkalan militer kota. Daerah itu saat ini tidak dapat diakses oleh bantuan kemanusiaan.
Kelompok pro-demokrasi akar rumput di Sudan yang dikenal sebagai Komite Perlawanan menyalahkan penguasa militer negara itu atas kurangnya keamanan di Blue Nile. Mereka menuduh pemerintah tidak melindungi kelompok etnis.
Sudan telah dilanda kekacauan sejak kudeta pada Oktober tahun lalu yang menjungkirbalikkan transisi demokrasi singkat negara itu setelah tiga dekade diperintah oleh Omar al-Bashir. Ia digulingkan dalam pemberontakan rakyat pada April 2019, yang membuka jalan bagi pembagian kekuasaan sipil-militer di pemerintahan.
Baca: WHO: Korban Tewas Ebola Uganda Naik menjadi 44 Orang
AL JAZEERA