TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Indonesia Muslim Crisis Centre (IMCC) Robi Sugara mendesak pemerintah Amerika Serikat dan Cina tidak menjadikan umat Islam di Indonesia bagian dalam perang proksi kedua negara. Ia pun memuji sikap Kementerian Luar Negeri Indonesia yang menolak usulan AS untuk menggelar debat tentang kondisi muslim Uyghur di Xinjiang.
“Jangan ada lagi kita masyarakat muslim dijadikan proxy war. Sebenarnya ketegangan antara dua negara super power, Cina yang sangat baik dari segi perekonomiannya kemudian AS status quo yang berkuasa di dunia ini, semakin berkuasa,” kata Robi dalam seminar "Politisasi Xinjiang: Kasus Propaganda Hitam Amerika di Negara-negara Muslim dalam Menekan Cina" dikutip dari keterangan tertulisnya, Rabu, 12 Oktober 2022.
Robi menilai politisasi kondisi muslim Uyghur di Xinjiang, misalnya narasi umat Islam di sana dizalimi pemerintah Cina, berpengaruh pada bagaimana pandangan umat Islam terhadap segala hal yang berkaitan dengan Cina. Termasuk di Indonesia.
"Ancaman kekerasan dan teror di Indonesia terhadap yang berkaitan dengan Cina dipengaruhi oleh isu-isu kesenjangan sosial ekonomi, kasus penistaan agama Ahok, investasi Cina dan komunis, politisasi Xinjiang dan konspirasi (asal virus) Corona,” katanya.
Sebelumnya Kementerian Luar Negeri RI menolak usulan Amerika Serikat (AS) untuk menggelar debat terkait perilaku Cina terhadap muslim Uyghur di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), pada Kamis, 6 Oktober 2022.
Dalam jumpa pers secara virtual Jumat, 7 Oktober 2022, Direktur HAM dan Kemanusiaan Kemlu RI Achsanul Habib menerangkan RI tak ingin terjadi politisasi Dewan HAM yang digunakan untuk tujuan-tujuan terkait, seperti rivalitas politik AS versus Cina.
Keputusan Kemlu RI itu dinilai oleh IMCC paling tidak menjadi bukti bahwa Indonesia merupakan negara moderat serta terukur sebagai bentuk politik bebas aktif.
Baca di sini: RI Tolak Bahas Uyghur di PBB, Kemlu Sebut Tak Mau Ada Politisasi
Pakar politik Internasional yang juga Direktur Sino-Nusantara Institute, Ahmad Syaifudin Zuhri, menjelaskan dari 47 negara anggota PBB, 17 di antaranya setuju diadakan debat tentang perilaku pemerintah Cina terhadap muslim Uyghur.
"Sedangkan yang menolak, pada dasarnya bukan negara Barat berjumlah 19 negara. Kemudian, 11 negara lainnya menyatakan abstain,” katanya.
Dalam materinya, Zuhri memetakan kemungkinan yang menjadi sumber konflik antara Cina dan Amerika Serikat. Beberapa topik yang kemungkinan menjadi pemicunya antara lain terkait isu demokrasi dan teritori/wilayah, persoalan perang dagang AS-Cina, problem keamanan di Laut Cina Selatan, hingga teknologi.
Sementara akademikus Hubungan Internasional UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Mutiara Dewi, menyebut isu Uyghur ini dimainkan oleh Amerika Serikat untuk menekan pengaruh Cina. "Cina yang komunis saat ini sedang menguat, maka Amerika kemudian memainkan kartu Uyghur untuk membendung powershift", kata dia.
Baca juga: Laporan PBB: Cina Melanggar HAM Muslim Uyghur di Xinjiang
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.