TEMPO.CO, Jakarta - Chad telah mengadopsi resolusi untuk memundurkan pemilu hingga dua tahun ke depan. Keputusan ini juga membuka peluang pada Presiden Chad sementara Mahamat Idriss Deby untuk tetap berkuasa dan memungkinkannya memenuhi syarat untuk mencalonkan diri sebagai presiden dalam pemilu berikutnya.
Keputusan tersebut mengecewakan bagi beberapa kubu oposisi. Pemilu yang ditunda hingga berulang kali juga sama dengan melawan peringatan dari Uni Afrika, Amerika Serikat, dan kekuatan asing lainnya bahwa junta tidak boleh memonopoli kekuasaan dengan memperpanjang transisi atau menurunkan calon presiden.
Chad saat ini dipimpim oleh militer, yang awalnya menjanjikan pemilu akan diselenggarakan dalam tempo 18 bulan ke depan atau ketika Deby merebut kekuasaan Pemerintah Chad pada April 2021 setelah ayahnya, Presiden Idriss Deby, tewas di medan perang selama konflik dengan pemberontak.
Di bawah rencana baru yang disetujui pada hari Sabtu, 1 Oktober 2022, maka pemerintahan transisi yang akan berakhir pada Oktober ini, telah diperpanjang hingga dua tahun ke depan, yang berarti pemiliu akan berlangsung sekitar Oktober 2024.
Hal ini, sama dengan mengizinkan Deby tetap berkuasa di Chad sampai pemilu diselenggarakan, meskipun Dewan Militer Transisinya akan dibubarkan dan diganti dengan pemerintahan transisi, yang ditunjuk oleh Deby.
Negara-negara lain seperti Mali, Burkina Faso, dan Guinea juga mengalami kudeta sejak 2020. Dengan begitu, kondisi di Chad telah meningkatkan kekhawatiran akan terjadinya kemunduran di wilayah yang sebelumnya telah membuat kemajuan bidang demokrasi selama satu dekade terakhir.
Chad adalah salah satu negara termiskin di dunia, yang dikacau oleh konflik dan kekeringan. Tingkat kelaparan di Chad juga tertinggi. Sekitar 2 juta orang menghadapi kekurangan pangan yang parah pada tahun ini.
Ketua oposisi di Chad, Brice Mbaimong Guedmabaye, mengatakan resolusi untuk memundurkan pemilu terasa dipaksakan selama dialog nasional. Sbeelumnya pemerintahan junta berjanji akan merundingkan jalan bagi Chad untuk kembali ke demokrasi.
"Ada lobi-lobi yang melakukan segalanya untuk menjaga junta tetap berkuasa melawan kehendak rakyat," kata Guedmabaye, presiden Gerakan Patriot Chad untuk Partai Republik.
Dialog nasional disebut sebagai rute menuju konsensus politik antara pihak berwenang, oposisi politik, perwakilan masyarakat sipil, dan kelompok pemberontak, tetapi banyak yang telah memboikot, termasuk kelompok pemberontak paling kuat, Front for Change and Concord in Chad (FACT) yang mengancam akan berbaris di ibu kota tahun lalu.
Beberapa peserta dalam acara dialog nasional khawatir tentang kemungkinan reaksi internasional yang dapat mengisolasi Chad dan menghambat pembangunan ekonomi negara penghasil minyak itu. Bank Dunia menyebut sekitar 42 persen warga Chad hidup di bawah garis kemiskinan.
"Kami takut sanksi dari Uni Afrika dan masyarakat internasional, yang hanya akan memperburuk penderitaan masyarakat Chad," kata Daouda Elhadj, yang berpartisipasi dalam dialog nasional sebagai kepala organisasi perlindungan konsumen.
REUTERS | NESA AQILA
Baca juga: Tentara Turun ke Jalan, Ada Kudeta di Burkina Faso?
Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini.