TEMPO.CO, Jakarta - Teheran memanggil duta besar Inggris dan Norwegia karena dinilai campur tangan dan membiarkan liputan media yang bermusuhan dalam demo atas kematian Mahsa Amini yang berujung kerusuhan nasional, kantor berita semi-resmi ISNA mengatakan pada Ahad 25 September 2022.
Aksi unjuk rasa nasioal itu yang dipicu oleh kematian Mahsa Amini, 22 tahun, saat ditahan oleh polisi moral.
Kementerian Luar Negeri Iran memanggil duta besar Inggris pada Sabtu sebagai tanggapan atas "karakter bermusuhan" dari media berbahasa Persia yang berbasis di London, kantor berita ISNA.
Utusan Norwegia juga dipanggil untuk menjelaskan "sikap intervensionis" dari ketua parlemen negara itu, yang telah menyatakan dukungannya kepada para pengunjuk rasa di Twitter.
Demonstrasi yang pecah lebih dari seminggu yang lalu di pemakaman wanita Kurdi berusia 22 tahun itu telah menyebar ke seluruh negeri dan berubah menjadi gelombang protes terbesar dalam beberapa tahun terakhir.
Televisi pemerintah Iran mengatakan 41 orang telah tewas, tetapi aktivis menyebut jumlah korban tewas lebih dari 50 orang. Pihak berwenang telah membatasi layanan internet dan seluler untuk mencegah rekaman protes dan tanggapan oleh pasukan keamanan keluar, kata para aktivis.
Presiden Ebrahim Raisi mengatakan Iran menjamin kebebasan berekspresi dan bahwa dia telah memerintahkan penyelidikan atas kematian dalam penahanan Amini, yang ditangkap oleh polisi karena tidak memakai jilbab.
Raisi juga mengatakan bahwa "tindakan kekacauan" tidak dapat diterima dan bahwa Iran harus menangani kerusuhan dengan tegas. Di Perserikatan Bangsa-Bangsa, dia mengatakan liputan luas kasus Amini adalah "standar ganda", menunjuk pada kematian dalam tahanan polisi AS.
Kematian Amini telah menyalakan kembali kemarahan di Iran atas masalah-masalah termasuk pembatasan kebebasan pribadi, aturan berpakaian yang ketat untuk wanita, dan ekonomi yang terguncang akibat sanksi.
Perempuan telah memainkan peran penting dalam protes, melambaikan dan membakar cadar mereka. Beberapa telah secara terbuka memotong rambut mereka ketika orang banyak yang marah menyerukan kejatuhan Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei.
Protes tersebut adalah yang terbesar yang melanda negara itu sejak demonstrasi mengenai harga bahan bakar pada 2019, ketika Reuters melaporkan 1.500 orang tewas dalam tindakan keras terhadap pengunjuk rasa - serangan kerusuhan internal paling berdarah dalam sejarah Republik Islam.
Kantor berita resmi IRNA mengatakan pada hari ini seorang anggota Basij, sebuah milisi di bawah payung Garda Revolusi, meninggal karena luka-luka yang diderita dalam bentrokan dengan apa yang disebut perusuh. Insiden ini terjadi di Orumieh di barat laut Iran, di mana 10 juta orang Kurdi Iran tinggal.
Dikatakan kematiannya terjadi pada "titik kritis dalam sejarah 43 tahun revolusi Islam", mengacu pada empat dekade pemerintahan ulama Iran sejak penggulingan Shah. Media pemerintah juga melaporkan 12 cabang bank hancur dalam kerusuhan dalam beberapa hari terakhir, dan 219 ATM telah rusak.
Kelompok hak asasi manusia Iran, Hengaw menggambarkan kota Oshnavieh, juga di barat laut negara itu, sebagai "benar-benar termiliterisasi". Dikatakan kota itu lumpuh, pihak berwenang melakukan penangkapan dan setidaknya lima mayat berada di kamar mayat rumah sakit. Reuters tidak dapat memverifikasi laporan tersebut.
Sabtu malam, akun Twitter aktivis 1500tasvir memuat video protes di distrik Sattarkhan di Teheran barat yang menunjukkan pengunjuk rasa berkumpul di alun-alun meneriakkan "Jangan takut kita semua bersama-sama", dengan sepeda motor yang tampaknya milik polisi anti-huru hara terbakar di latar belakang.
Sebuah video yang diposting di media sosial pada Sabtu menunjukkan demonstrasi di kota Babol, Iran, dengan para pemuda yang mencoba melepas potret Khamenei dan Ayatollah Ruhollah Khomeini, pendiri Republik Islam. Sementara di gerbang universitas, para demonstran berteriak "Matilah diktator."
Baca juga: Presiden Ebrahim Raisi Siap Bertindak Tegas Atasi Aksi Protes Kematian Mahsa Amini
REUTERS