TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Center for ASEAN-Indian Studies, The Institute of Foreign Affairs and National Security (IFANS), Cho Wondeuk, menilai Indonesia dan Korea Selatan (Korsel) bisa mempelopori gerakan negara-negara kekuatan menengah guna mengatasi persaingan Amerika Serikat dan Cina di kawasan Indo-Pasifik.
Cho menilai negara-negara lain tidak bisa diam saja menyaksikan perang antara Amerika dan Cina dalam mencari pengaruh di kawasan Indo-Pasifik. Diperparah pandemi Covid-19, persaingan Beijing dan Washington kian mempercepat perubahan geopolitik dan geoekonomi yang dapat mempersempit pilihan strategis bagi negara-negara kecil-menengah.
“Maka dalam hal itu tanggung jawab untuk (negara) kekuatan kecil dan menengah menjadi lebih penting,” ucap Cho secara virtual dalam acara workshop Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea Batch 2 yang digelar oleh Foreign Policy Community Indonesia (FPCI) dan Korea Foundation, di Jakarta, Jumat, 26 Agustus 2022.
Cho menuturkan Indonesia dan Korea Selatan perlu berbagi visi dan kepentingan strategis soal Indo-Pasifik. Ia mendorong kedua negara agar meningkatkan dialog strategis mengingat Indonesia dan Korea tergabung atau menjadi mitra dalam sejumlah forum global seperti IORA, APEC, G20, ADMM+, EAS, ARF, ASEAN+1 dan lainnya. “Masih banyak lagi platform multilateral di mana Korea dan Indonesia sama-sama berpartisipasi saat ini,” tuturnya.
Menurut Cho, Indonesia dan Korea Selatan perlu mempertimbangkan membangun kerja sama dengan negara lain dalam berbagai hal yang fokus pada permasalahan di Indo-Pasifik. Ia mencontohkan kedua negara bisa menggandeng India dan Australia dan membangun forum Korea-Indonesia-India-Australia (KIIA) atau hubungan trilateral Korea-Indonesia-Australia (KIA).
Wadah baru ini, kata dia, menjadi area tersendiri di antara negara anggota agar bisa kerja sama lebih dekat dalam konteks Indo-Pacific Economic Framework (IPEF) yang telah digagas oleh Amerika Serikat. Indonesia, Korea Selatan, dan India tergabung di dalamnya.
Negara ASEAN Dinilai Butuh Pihak Ketiga
Survei pakar terbaru dari ISEAS-Yusof Ishak Institute menunjukkan jika negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, perlu mempertimbangkan mencari opsi negara ketiga merespons meningkatnya persaingan Amerika Serikat dan Cina dalam mencari pengaruh di Asia Tenggara.
Pada 2021, hanya 8,5 persen pakar yang merasa Indonesia perlu menggandeng pihak ketiga dalam menghadapi persaingan Beijing dan Washington. Namun, angka tersebut melonjak drastis menjadi 18,3 persen dalam survei ISEAS 2022 (Total responden 1.677 orang). “Maka dalam hal itu Korea Selatan juga dapat dianggap sebagai pilihan pihak ketiga bagi negara-negara tertentu, khususnya Indonesia,” kata Cho.
Di sisi lain, Korea Selatan ternyata tidak begitu populer bagi para pakar di Indonesia untuk dijadikan pihak ketiga di luar AS dan Cina. Survei ISEAS menunjukkan Korea Selatan kalah dibandingkan Uni Eropa (40,5 persen), Jepang (31,3 persen), dan Australia (10,7 persen). Hanya 6,9 persen responden yang memilih Korea Selatan dan Inggris disusul India (3,8 persen).
“Jadi (Indonesia dan Korea Selatan) memiliki banyak tugas pekerjaan rumah yang harus dilakukan untuk (hubungan diplomatik) 50 tahun ke depan,” tutur Cho.
Baca juga: Hasil Lawatan Jokowi ke Cina, Jepang dan Korea; RI Terima Komitmen Investasi Ratusan Triliun