TEMPO.CO, Jakarta - Panglima militer Myanmar dan pemimpin kudeta Min Aung Hlaing Rabu 7 September 2022 akhirnya bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin. Ini menjadi tanda lebih lanjut dari hubungan yang semakin dalam antara kedua negara yang terkena sanksi internasional akibat kudeta dan invasi ke Ukraina.
Min Aung Hlaing, yang merebut kekuasaan dari pemerintah terpilih Myanmar dalam kudeta pada Februari 2021, telah mengunjungi Rusia dua kali sejak kudeta, terakhir pada Juli. Namun, ia gagal bertemu dengan Putin.
Mereka akhirnya bertemu di sela-sela Forum Ekonomi Timur (EEF) yang diselenggarakan Moskow, yang berlangsung di Vladivostok, kota paling timur Rusia.
“Hubungan kami berkembang secara positif,” kantor berita RIA, mengutip Putin mengatakan selama pembicaraan. Putin adalah pemimpin asing kedua yang bertemu Min Aung Hlaing sejak perebutan kekuasaan militer.
Global New Light of Myanmar yang dikelola pemerintah mengatakan ketua Dewan Administrasi Negara bertemu dengan penasihat Putin, Anton Kobyakov pada Selasa malam. Harian itu menerbitkan foto di halaman depan dua delegasi yang duduk berhadapan di meja panjang.
Wakil menteri pertahanan Rusia Alexander Fomin dan perwira militer senior dari Myanmar juga hadir. Fomin adalah tamu terhormat di Hari Angkatan Bersenjata Myanmar pada Maret.
“Delegasi membahas membangun hubungan baik antara Federasi Rusia dan Myanmar dan (dua) angkatan bersenjata," kata surat kabar itu, mencatat bahwa 2022 menandai 75 tahun hubungan diplomatik antara kedua negara.
Pembicaraan juga mencakup kerja sama ekonomi yang lebih luas, termasuk penerbangan langsung antara kedua negara untuk meningkatkan pariwisata dan perdagangan minyak dan gas.
Myanmar telah mengumumkan pada Agustus rencana untuk mengimpor bahan bakar minyak Rusia untuk mengurangi krisis pasokan. Di Vladivostok, Min Aung Hlaing mengatakan kepada Putin bahwa Myanmar siap membayar impor dalam rubel Rusia.
Dukungan militer Rusia, khususnya untuk angkatan udara, juga sangat penting dalam kampanye jenderal untuk menghancurkan perlawanan dari kelompok bersenjata anti-kudeta, yang dikenal sebagai Angkatan Pertahanan Rakyat. Serta organisasi bersenjata etnis yang lebih mapan yang telah berjuang untuk otonomi politik selama beberapa dekade.
Tom Andrews, Pelapor Khusus PBB untuk hak asasi manusia di Myanmar, mengatakan kepada Dewan Hak Asasi Manusia PBB awal tahun ini bahwa Rusia adalah salah satu dari tiga negara yang telah memasok senjata ke Myanmar sejak kudeta, meskipun digunakan terhadap warga sipil. Yang lainnya adalah China dan Serbia.
Militer mengambil alih Myanmar pada hari parlemen baru negara itu akan bersidang untuk pertama kalinya sejak pemilihan November 2020, yang dimenangkan dengan telak oleh Liga Nasional untuk Demokrasi pimpinan Aung San Suu Kyi.
Myanmar terjerumus ke dalam krisis oleh kudeta, yang memicu protes skala besar dan gerakan pembangkangan sipil nasional. Lebih dari 2.000 orang telah tewas dalam tindakan keras militer terhadap lawan-lawannya.
Penolakan rezim untuk mengikuti rencana regional untuk mengakhiri kekerasan, serta sanksi internasional, telah membuat Myanmar semakin terisolasi. Akibatnya, mereka memperdalam kemitraannya dalam jangka panjang dengan sekutu seperti Rusia. Moskow, sementara itu, juga berada di bawah tekanan atas invasinya ke Ukraina yang dimulai enam bulan lalu.
Baca juga: Petinggi Junta Myanmar ke Rusia Lagi, Beli BBM atau Senjata?
AL JAZEERA