TEMPO.CO, Jakarta - Liz Truss diperkirakan akan terpilih sebagai Perdana Menteri Inggris ketika negara itu menghadapi krisis biaya hidup, kerusuhan industri dan resesi.
Setelah berminggu-minggu kontes kepemimpinan partai, yang menghadapkan Truss dengan mantan menteri keuangan Rishi Sunak, hasil pemungutan suara internal anggota Partai Konservatif akan diumumkan Senin petang nanti sekitar 11.30 GMT atau 18.30 WIB.
Baca Juga:
Pemenang akan menggantikan Boris Johnson, yang terpaksa mengumumkan pengunduran dirinya pada Juli setelah berbulan-bulan dihantam skandal.
Pada hari Selasa, 6 September 2022, pemenang akan melakukan perjalanan ke Skotlandia bertemu Ratu Elizabeth, yang akan meminta pemimpin baru untuk membentuk pemerintahan.
Truss, jika menang, akan menjadi perdana menteri keempat Konservatif sejak pemilihan 2015. Selama periode itu, Inggris diterpa berbagai krisis, dan sekarang menghadapi apa yang diperkirakan akan menjadi resesi panjang dipicu inflasi 10,1% pada bulan Juli.
Menteri luar negeri Truss, 47 tahun, berjanji untuk bertindak cepat mengatasi krisis biaya hidup Inggris, dan mengatakan bahwa dalam waktu seminggu dia akan membuat rencana untuk mengatasi harga energi yang meningkat dan mengamankan pasokan bahan bakar di masa depan.
Berbicara dalam sebuah wawancara TV pada hari Minggu dia menolak untuk memberikan rincian langkah-langkah untuk meyakinkan jutaan orang yang takut tidak akan mampu membayar tagihan bahan bakar di musim dingin.
Dia telah memberi isyarat selama kampanye kepemimpinannya bahwa dia akan menantang konvensi dengan menghapus kenaikan pajak dan memotong pungutan lain yang menurut beberapa ekonom akan memicu inflasi.
Itu, ditambah janji untuk meninjau kewenangan Bank of England sambil melindungi independensinya, telah mendorong beberapa investor untuk melepas pound dan obligasi pemerintah.
Institute for Fiscal Studies bulan lalu meragukan perdana menteri Inggris berikutnya bisa melakukan pemotongan pajak yang besar dan permanen.
Subsidi Inggris paling kecil
Perdana Menteri Inggris menghadapi daftar tugas panjang, mahal dan sulit, yang menurut anggota parlemen oposisi adalah buah dari 12 tahun buruknya pemerintahan Konservatif. Beberapa telah menyerukan pemilihan awal - sesuatu yang Truss katakan tidak akan dia lakukan.
Anggota parlemen Konservatif David Davis menggambarkan tantangan yang akan dihadapi perdana menteri "mungkin yang paling sulit kedua dari perdana menteri pasca-perang" setelah Margaret Thatcher pada 1979.
"Saya sebenarnya tidak berpikir salah satu kandidat, tidak satu pun dari mereka yang melaluinya, benar-benar tahu seberapa besar ini akan terjadi," katanya, dan menambahkan bahwa biayanya bisa mencapai puluhan miliar pound.
Truss mengatakan dia akan menunjuk kabinet yang kuat, mengesampingkan apa yang disebut oleh satu sumber sebagai "gaya presidensial" dari pemerintahan.
Pertama dia akan beralih ke isu mendesak dari lonjakan harga energi. Tagihan utilitas rumah tangga tahunan rata-rata akan melonjak 80% pada bulan Oktober menjadi 3.549 pound (Rp60 juta), sebelum kenaikan yang diperkirkan menjadi 6.000 pound pada 2023, menghancurkan keuangan pribadi.
Inggris tertinggal dari negara-negara besar Eropa lainnya dalam memberikan dukungan untuk tagihan energi masyarakat, yang anggota parlemen oposisi menyalahkan pemerintah "zombie" tidak dapat bertindak sementara Konservatif menjalankan kontes kepemimpinan mereka.
Pada bulan Mei, pemerintah Inggris menetapkan paket dukungan 15 miliar pound (Rp256 triliun) untuk membantu rumah tangga dengan tagihan energi sebagai bagian dari skema dukungan biaya hidup 37 miliar pound.
Italia telah menganggarkan lebih dari 52 miliar euro (Rp768 triliun) sepanjang tahun ini untuk membantu rakyatnya. Di Prancis, kenaikan tagihan listrik dibatasi pada 4% dan Jerman mengatakan pada hari Minggu akan menghabiskan setidaknya 65 miliar euro (Rp960 triliun) untuk melindungi konsumen dan bisnis dari kenaikan inflasi.
Reuters