TEMPO.CO, New York City -Novelis Salman Rushdie tengah ramai diberitakan banyak media di seluruh dunia.
Hal itu ditengarai pasca aksi penusukan yang menimpanya oleh seorang pria kala hendak mengisi sebuah acara sastra di New York pada Jumat, 12 Agustus 2022 waktu setempat.
Novel The Satanic Verses
Sebelum perkara penusukan kemarin, Salman Rushdie sejatinya telah sering menerima ancaman semenjak menelurkan buku The Satanic Verses atau diterjemahkan Ayat-ayat Setan.
Hal itu disebabkan oleh banyaknya kecaman terhadap karya yang terbit pada 1988 tersebut karena dianggap menghina Islam dan Nabi Muhammad oleh sejumlah ulama.
Penerbit pertama The Satanic Verses, Viking Penguin, ditekan untuk menyetop distribusi novel. Pelarangan buku ini menyebar ke sejumah negara, terutama yang sebagian besar berpenduduk muslim seperti Bangladesh, Sudan, Sri Lanka, hingga Indonesia.
Unjuk rasa anti-Rushdie pun menjalar ke berbagai penjuru, salah satunya terjadi di Inggris.
Melansir The Guardian, pada 2 Desember 1988, ribuan muslim di Bolton menggelar demonstrasi menentang The Satanic Verses. Aksi itu dilakukan dengan longmarch dari Masjid Zakariyya Jame ke pusat kota lalu dilanjut aksi pembakaran buku tersebut.
Mengutip The Independent, aksi serupa lainnya juga dilakukan sekelompok Muslim yang mengambil salinan novel The Satanic Verses lalu membakarnya di depan Balai Kota Bradford pada 14 January 1989.
Efek Fatwa Khomeini
Jessica Jacobson dalam bukunya 'Islam in transitions' menyebut pemimpin tertinggi Iran kala itu, Ayatollah Ruhollah Khomeini bahkan sampai menetapkan fatwa hukuman mati kepada pria bernama lengkap Sir Ahmed Salman Rushdie itu pada 14 Februari 1989. Pada 1998 atau satu dasawarsa sejak fatwa dikeluarkan, pemerintah Iran sempat menyatakan tidak lagi mendukung pembunuhan Rushdie.
Meski demikian, Ali Khamenei, suksesor Ayatollah Ruhollah Khomeini, pada 2019 menegaskan bahwa fatwa tersebut masih berlaku. Ia bahkan bersikeras bahwa fatwa terhadap Salman Rushdie "kokoh dan tidak dapat dibatalkan".
Keluarnya fatwa itu membuat Salman Rushdie mesti mendapatkan perlindungan dari pemerintah Inggris.
Selama lebih dari tiga dekade lamanya, yang semenjak fatwa untuk menghabisi dirinya ia mesti menggunakan nama palsu, hengkang dari tanah kelahiran, dan memerlukan penjagaan aparat ketika menghadiri acara di luar rumah. Kontroversi Salman Rushdie ini bahkan sempat membuat hubungan diplomatik Inggris dan Iran kandas pada 7 Maret 1989.
HATTA MUARABAGJA
Baca juga: Salman Rushdie Ditusuk di New York, Ini Fakta-faktanya