TEMPO.CO, Jakarta - Otoritas Sudan mengumumkan pemberlakuan jam malam di dua kota di wilayah tenggara negara bagian Blue Nile, yang berbatasan dengan Ethiopia. Langkah itu diambil setelah berhari-hari bentrokan antar suku hingga membuat 31 orang tewas dan 39 luka-luka.
Pemerintah negara bagian Blue Nile menjelaskan bentrokan menyebar di sejumlah kota mulai Rabu, 13 Juli 2022, setelah terjadi pembunuhan pada seorang petani, di mana aparat keamanan telah menahan sejumlah terduga dan mengendalikan situasi.
Dalam pernyataan itu dijelaskan pula 16 toko dirusak akibat bentrokan tersebut. Jam malam diberlakukan di Kota Damazin dan Roseires. Namun tidak dijelaskan sampai kapan jam malam diberlakukan.
Kekerasan sporadis terjadi di sejumlah wilayah di Sudan, di antaranya di wilayah timur Sudah dan wilayah barat Darfur. Kekerasan masih terjadi kendati sudah ditanda-tangani kesepakatan damai oleh sejumlah kelompok bersenjata pada 2020.
Fraksi yang cukup berkuasa di Sudan, yakni Sudan People's Liberation Movement-North, tidak mau menanda-tangani kesepakatan itu. Sudan People's Liberation Movement-North adalah kelompok bersenjata yang aktif di negara bagian South Kordofan dan Blue Niles.
Militer Sudan merebut kekuasaan dari pemerintahan transisi yang dipegang oleh pemerintahan sipil pada Oktober 2021. Kondisi ini telah memancing unjuk rasa anti-militer yang berlangsung sampai lebih dari delapan bulan.
Militer Sudan mengambil alih pemerintahan dengan menangkap Perdana Menteri Abdalla Hamdok ke lokasi yang dirahasiakan hingga menahan anggota kabinet. Militer menyatakan pemerintahan transisi berakhir meski aksi tersebut diwarnai dengan unjuk rasa masyarakat yang menolak pengambialihan secara paksa.
Jenderal tertinggi Sudan, Abdel Fattah al-Burhan mengumumkan keadaan darurat. Ia juga menyatakan militer perlu melindungi keselamatan dan keamanan negara serta membubarkan dewan.
Sumber: Reuters
Baca juga:Unjuk Rasa di Sudan Menolak Kudeta Militer Masih Berlanjut
Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini.