TEMPO.CO, Jakarta - Sri Lanka melanjutkan negosiasi dengan China untuk bantuan US$ 4 miliar atau sekitar Rp 60 triliun. Duta Besar Sri Lanka untuk China Palitha Kohona meyakinkan Beijing akan setuju pada titik tertentu akan kesepakatan ini.
Kohona mengatakan Kolombo meminta pinjaman sebesar US$ 1 miliar atau sekitar Rp 15 triliun untuk membayar jumlah yang setara dengan utang China yang akan jatuh tempo tahun ini. Sri Lanka juga mencari jalur kredit US$ 1,5 miliar atau Rp 22,4 triliun untuk membayar impor China. Serta aktivasi swap sebesar US$ 1,5 miliar lainnya.
"Kami yakin bahwa pada titik tertentu sistem China akan menyetujui permintaan kami karena ini bukan permintaan yang tidak masuk akal," kata Kohona seperti dilansir Reuters, Jumat, 15 Juli 2022.
"Kami telah mengajukan permintaan serupa kepada kreditur lain. Sri Lanka membutuhkan dana untuk membawa stabilitas sistem keuangan kami dan kami yakin bahwa China akan datang ke pesta lebih cepat," tambahnya.
Keuangan Sri Lanka lumpuh oleh utang yang menumpuk karena fokus pembangunan besar-besaran pasca-perang saudara yang berakhir di 2009. Pemerintah mengucurkan banyak investasi pada jalan dan pelabuhan.
Selain itu pemotongan pajak yang diberlakukan oleh rezim Presiden Gotabaya Rajapaksa juga membuat ekonomi terpuruk. Utang luar negeri Sri Lanka meroket hingga US$ 51 miliar atau sekitar Rp 757 triliun, termasuk kepada China sebesar US$ 6,5 miliar (Rp97,7 triliun).
Sri Lanka tidak bisa membayarnya. Sri Lanka juga tidak memiliki uang untuk mengimpor barang-barang pokok. Mereka hampir tidak memiliki sisa dolar untuk mengimpor bahan bakar, yang telah dijatah secara ketat.
Penjabat Presiden Sri Lanka Ranil Wickremesinghe mengatakan, Dana Moneter Internasional (IMF) telah mencatat butuh empat tahun untuk menstabilkan ekonomi Sri Lanka. Tahun pertama adalah yang terburuk.
Masyarakat Sri Lanka menyalahkan Gotabaya Rajapaksa atas runtuhnya ekonomi yang bergantung pada pariwisata. Krisis ekonomi di Sri Lanka kian parah sejak dihantam pandemi COVID-19.
Unjuk rasa besar-besaran berlangsung di Sri Lanka pada Sabtu, 9 Juli 2022. Massa menuntut pengunduran diri Presiden Gotabaya Rajapaksa dan Perdana Menteri Ranil Wickremesinghe. Para pengunjuk rasa menduduki Istana Presiden, kediaman resmi Perdana Menteri, dan menguasai kantor sekretariat presiden yang terletak di Galle Face Green. Tempat-tempat itu jadi pusat konsentrasi massa untuk berunjuk rasa.
Desakan dari rakyat itu membuat Gotabaya Rajapaksa kabur ke Singapura, sebelum akhirnya benar-benar mengundurkan diri melalui pernyataan tertulis yang dikirim via email ke parlemen.
Baca: Rajapaksa Mundur, Ini Tahapan Pemilihan Presiden Baru Sri Lanka
REUTERS | CHANNEL NEWS ASIA