TEMPO.CO, Baghdad -Pada 14 juli 1958 menjadi hari monumental bagi sejarah Republik Irak. Hal tersebut tak lepas dari revolusi yang terjadi pada 64 tahun lalu tersebut.
Meninggalnya Raja Faisal II sekaligus menandai berakhirnya sistem monarki dalam negara tersebut.
Faisal II lahir di Baghdad, 2 Mei 1935. Ia memerintah kerajaan irak sejak umur 3 tahun, tepatnya pada 4 april 1939 sebab ayahnya, Ghazi I meninggal dunia dalam kecelakaan mobil. Namun, sejak 1939 tersebut hingga 1953, pamannya yakni Abd al-llah dari Hejaz menjadi wali raja hingga Faishal II dinilai cukup usia. Sehingga barulah pada 2 Mei 1953, ia mendapatkan kekuasaan absolut di negara timur tengah tersebut.
Kerusuhan di Irak 1958
Hingga pada tahun 1958, meletus kerusuhan di Irak yang menyebabkan revolusi di bawah pimpinan Abdul Karim Qasim. Revolusi masif itu berujung terjungkalnya Raja Faishal II.
Pada 14 Juli 1958 Faishal II dihukum mati bersama keluarganya dan menjadi raja terakhir di Irak.
Pasca kejadian tersebut, sistem kerajaan dihapuskan dan berganti menjadi Republik. Mayor jenderal Abdul Karim Qasim yang merupakan pemimpin aksi revolusi menjadi Presiden perdana bagi Republik Irak untuk periode 1958-1963.
Diantara hal yang memberikan inspirasi kepada kelompok revolusioner di Irak untuk mengkudeta rezim monarki Irak pimpinan Raja Faisal II ialah pertempuran Suez antara Mesir dan Kerajaan Inggris pada tahun 1956. kelompok militer di Irak memandang Mesir pimpinan Presiden Gamal Abdul Nasser sebagai negara yang mampu membangkitkan persatuan nasional dan menjamin kehidupan bagi rakyat Arab.
Hingga muncul partai Baath sebagai kekuatan baru dalam dunia perpolitikan Irak. Partai ini sangat cepat meluas dan berkembang di Irak. Saddam Hussein, tokoh terkenal dalam partai ini bergabung pada 1957 di usianya yang baru 20 tahun.
Partai Baath didirikan oleh Michel Aflaq dan Salahudin Bitar pada 7 April 1946 dengan tiga tujuan utamanya yakni Persatuan, Kemerdekaan, dan Sosialisme.
Misi perjuangan Partai Baath adalah...