TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa dipaksa mundur oleh rakyatnya akibat runtuhnya ekonomi negara itu. Gotabaya dan saudara-saudaranya dalam keluarga Rajapaksa adalah dinasti politik paling kuat di negara kepulauan yang saat ini sedang babak belur.
Nama lengkapnya adalah Nandasena Gotabaya Rajapaksa. Dia lahir di Palatuwa, Distrik Matara pada 20 Juni 1949. Dia adalah anak kelima dari sembilan bersaudara.
Keluarganya terkenal secara politik di Sri Lanka. Ayahnya, DA Rajapaksa, merupakan seorang politisi terkemuka, seorang aktivis kemerdekaan Sri Lanka dari kekuasaan Inggris, Anggota Parlemen, Wakil Ketua serta Menteri Kabinet Pertanian dan Pertanahan di pemerintahan Wijeyananda Dahanayake.
Sebelum terjun ke dunia politik, Gotabaya Rajapaksa telah menghabiskan hampir dua dekade di Angkatan Darat Sri Lanka. Ia pertama kali bergabung sebagai Cadet Officer pada 26 April 1971, saat negara tersebut masih menjadi wilayah kekuasaan Persemakmuran Inggris. Setelah pelatihannya, pada 26 Mei 1972, ia ditugaskan sebagai Letnan Dua di Korps Sinyal Sri Lanka. Pada April 1974, ia menjadi Letnan dan pada Oktober tahun yang sama, ia dipindahkan ke Resimen Sinha Sri Lanka sebagai perwira infanteri.
Pada April 1977, ia dipromosikan ke pangkat Kapten. Kemudian Januari 1978, ia diangkat sebagai Staf Staf Kelas III cabang A, menangani administrasi Garnisun Diyatalawa. Di 1980, ia menghadiri Counter-Insurgency and Jungle Warfare School di Assam. Setelahnya pada 1982, ia terpilih untuk mengikuti Kursus Staf dan Komando di Sekolah Staf Layanan Pertahanan di Wellington di India, memperoleh gelar MSc dalam Studi Pertahanan dan Strategis dari Universitas Madras.
Sekembalinya ke Sri Lanka, ia diangkat menjadi komandan kedua Batalyon 1, Resimen Gajaba (1GR) di bawah komando Letnan Kolonel Vijaya Wimalaratne. Pada 1983, perang saudara pecah di Sri Lanka. Dua tahun kemudian, dia memimpin sebuah kelompok yang berhasil menyergap penyerang LTTE. Atas tindakannya itu, ia dianugerahi Penghargaan dari Presiden JR Jayewardene.
Pada 1987, ia memimpin IGR sebagai bagian dari Operasi Pembebasan, serangan yang dilakukan untuk membebaskan Vadamarachi dari LTTE. Dia kemudian dipromosikan ke pangkat Letnan Kolonel dan mengambil bagian dalam berbagai operasi kontra-pemberontakan. Pada 1990, ia mengambil bagian dalam Operation Strike Hard dan Operation Thrividha Balaya di Jaffna.
Setelah pensiun dari Angkatan Darat, ia menyelesaikan diploma pascasarjana di bidang teknologi informasi dari Universitas Kolombo dan bergabung dengan Informatika, sebuah perusahaan IT yang berbasis di Kolombo sebagai Manajer Pemasaran pada 1992. Dia pergi ke Amerika Serikat pada 1998 dan bekerja di Loyola Law School di Los Angeles sebagai System Integrator dan Administrator Unix Solaris. Dia kembali dari AS pada 2005 untuk membantu saudaranya Mahinda dalam kampanye pemilihan presidennya.
Setelah Mahinda Rajapaksa menjadi Presiden Sri Lanka, Gotabaya diangkat sebagai Sekretaris Tetap Kementerian Pertahanan pada 2005. Dia mengawasi operasi militer yang akhirnya mengalahkan LTTE pada Mei 2009.
Saat menjabat di kantor itu, Gotabaya Rajapaksa juga mengejar proyek-proyek seperti proyek di Kolombo, yang merevitalisasi pusat-pusat publik dan taman-taman di Kolombo, dan beberapa proyek lain yang berfokus pada tempat-tempat penting. Hasilnya, pada 2015, studi perjalanan tahunan oleh MasterCard menyebutkan bahwa Kolombo adalah kota dengan perkembangan tercepat di dunia. Pada tanggal 1 Desember 2006, Gotabaya selamat dari upaya pembunuhan, dan LTTE disalahkan atas serangan itu.
Gotabaya Rajapaksa menjadi Presiden Sri Lanka pada 18 November 2019. Dia adalah politisi non-karier pertama dan mantan perwira militer yang menjabat sebagai Presiden Sri Lanka. Pada 21 November, ia mengangkat saudaranya Mahinda Rajapaksa sebagai Perdana Menteri setelah Ranil Wickremesinghe mengundurkan diri dari jabatannya.
Pada 22 November, ia menunjuk Kabinet Menteri yang beranggotakan 15 orang. Dengan demikian, Sri Lanka menjadi negara kedua setelah Polandia yang memiliki kombinasi saudara laki-laki yang menjabat sebagai Presiden dan Perdana Menteri di satu negara pada saat bersamaan. Bukan hanya mereka, beberapa anggota keluarga Rajapaksa lainnya, termasuk saudara laki-laki mereka, bergabung dengan pemerintah setelah keduanya berkuasa.
April 2021, dia menyatakan bahwa Sri Lanka akan segera beralih ke pertanian organik, meskipun banyak petani kurang pelatihan yang tepat dalam teknik organik. Langkah itu ternyata merupakan kegagalan yang membawa malapetaka. Pada April 2022, pemerintah telah membatalkan keputusannya.
Untuk menebus kegagalan besar di sektor pertanian karena keputusannya, pemerintah mencari pinjaman US$ 700 juta atau Rp 10 triliun dari Bank Dunia, demi menyediakan bahan kimia pertanian impor menyusul penurunan produksi besar-besaran di musim "Maha". Keuangan pemerintah dilumpuhkan oleh utang yang menumpuk dan potongan pajak yang diberikan oleh rezim Rajapaksa. Utang luar negeri Sri Lanka meroket hingga US$ 51 miliar atau sekitar Rp 757 triliun. Sri Lanka tidak bisa membayarnya.
Sri Lanka juga tidak memiliki uang untuk mengimpor barang-barang pokok. Sri Lanka hampir tidak memiliki sisa dolar untuk mengimpor bahan bakar, yang telah dijatah secara ketat.
Demonstrasi akbar berlangsung di Sri Lanka pada Sabtu, 9 Juli 2022. Massa menuntut pengunduran diri Gotabaya Rajapaksa dan Perdana Menteri Ranil Wickremesinghe. Para pengunjuk rasa menduduki Istana Presiden, kediaman resmi Perdana Menteri, dan juga menguasai kantor sekretariat presiden yang terletak di Galle Face Green. Tempat itu jadi pusat konsentrasi massa pelaku unjuk rasa. Rumah Ranil hangus terbakar.
Gotabaya Rajapaksa akan mengundurkan diri pada Rabu, 13 Juli 2022. Ranil mengatakan Gotabaya telah mengkonfirmasi rencana pengunduran dirinya kepada perdana menteri. Kabinet akan mengundurkan diri setelah kesepakatan dicapai untuk membentuk pemerintahan semua partai.
Baca: Keluarga Rajapaksa, Dinasti Penguasa Sri Lanka yang Dipaksa Rakyat Lengser
NEWS9LIVE | THE NATIONAL | REUTERS