TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Prancis Emmanuel Macron diduga terlibat dalam skandal perusahaan aplikasi transportasi, Uber.
Cache bocor dari file rahasia aplikasi Uber mengungkap taktik kurang etis dan berpotensi ilegal yang digunakan perusahaan untuk memicu ekspansi global besar-besaran dimulai hampir satu dekade lalu.
Sebuah penyelidikan sejumlah media menyampaikan temuan pada Minggu, 10 Juli 2022, termasuk dugaan keterlibatan Presiden Prancis Emmanuel Macron yang saat itu menjabat sebagai menteri ekonomi.
Penyelidikan 'file Uber' ini berdasarkan 124.000 catatan dan melibatkan puluhan organisasi berita. Mereka menemukan bahwa, di masa awal, pejabat perusahaan start-up San Francisco itu kadang-kadang memanfaatkan reaksi keras dari industri taksi terhadap driver untuk mengumpulkan dukungan dan menghindari otoritas pengatur.
Uber dalam sebuah pernyataan Minggu, 10 Juli 2022, mengakui kesalahannya. Akan tetapi menyalahkan kepemimpinan sebelumnya di bawah mantan kepala eksekutif Travis Kalanick, yang terpaksa mengundurkan diri pada 2017 menyusul pengungkapan yang menuduhnya melakukan praktik manajemen brutal. Dia juga dituding terlibat pelecehan seksual dan psikologis di perusahaan.
"Kami telah pindah dari era konfrontasi ke era kolaborasi, menunjukkan kesediaan untuk datang ke meja dan menemukan titik temu dengan mantan lawan, termasuk serikat pekerja dan perusahaan taksi," katanya, seperti dilansir France 24.
Penyelidikan menemukan, ketika pengemudi Uber yang disubsidi dan tarif diskon mengancam industri taksi, pengemudi perusahaan menghadapi pembalasan dengan kekerasan, termasuk protes di Paris pada 2016.
Dalam beberapa kasus, ketika pengemudi diserang, eksekutif Uber berputar cepat untuk memanfaatkan dengan mencari dukungan publik dan peraturan saat memasuki pasar baru. Washington Post, satu dari media yang terlibat dalam penyelidikan, mewartakan, Uber seringkali tidak mencari lisensi untuk beroperasi sebagai taksi dan layanan livery.
Kalanick telah menyerukan protes balasan di Paris. Dia tampaknya menyarankan kekerasan akan membantu penyebabnya, seperti dalam sebuah teks kepada pejabat lain yang mengatakan, "Kekerasan menjamin keberhasilan."
Melalui juru bicaranya, Kalanick membantah temuan itu. Menurutnya, dia tidak pernah menyarankan Uber harus mengambil keuntungan dari kekerasan dengan mengorbankan keselamatan pengemudi.
Dia juga mengaku tidak pernah mengizinkan tindakan atau program apa pun yang akan menghalangi keadilan di negara mana pun.
Post dalam laporannya menuliskan, penyelidikan juga menuduh Uber telah bekerja untuk menghindari pemeriksaan peraturan dengan memanfaatkan keunggulan teknologi. Contohnya ketika Kalanick menerapkan "tombol pemutus" untuk memutus akses perangkat dari jarak jauh di kantor Amsterdam ke sistem internal Uber sebagai regulator.
Temuan lain, menurut Post, menunjukkan bahwa antara 2014 dan 2016, Uber bekerja sama dengan Menteri Ekonomi Prancis saat itu Emmanuel Macron. Saat ini Macron adalah presiden Prancis.
Persekutuan dengan Macron, menurut laporan itu, diyakini perusahaan akan mendorong regulator "untuk 'kurang konservatif' dalam interpretasi mereka tentang aturan yang membatasi operasi perusahaan."
Macron mendapat tekanan dari politisi oposisi atas dugaan keterlibatannya dengan Uber selama tahun-tahunnya sebagai menteri ekonomi. Dipimpin oleh partai anti-kapitalis France Insoumise (France Unbowed), aliansi politik sayap kiri Nupes mengatakan bahwa mereka akan mencari penyelidikan parlemen mengenai peran Macron dalam membantu perusahaan California di Prancis.
"Seorang menteri tidak bisa menjadi pelobi! Cahaya perlu bersinar dalam kasus ini. Prancis tidak bisa menjadi taman bermain perusahaan swasta besar," kata anggota parlemen senior France Insoumise Alexis Corbiere di Twitter.
Pemerintah Macron menghadapi mosi tidak percaya pada Senin. Kendati demikian, pemerintahan Macron akan lolos dari bencana karena Les Republicains yang konservatif dan Rassemblement National berencana untuk abstain.
SUMBER: FRANCE 24 | REUTERS | LE MONDE