TEMPO.CO, Jakarta - Perdana Menteri Sri Lanka Ranil Wickremesinghe secara terbuka bereaksi pertama kalinya setelah rumah pribadinya dibakar oleh pengunjuk rasa anti-pemerintah beberapa hari lalu. Ia mengatakan hanya orang-orang dengan watak seperti Hitler yang nekat berlaku seperti itu.
Presiden Gotabaya Rajapaksa menunjuk Wickremesinghe sebagai Perdana Menteri pada Mei 2022. Penunjukan itu setelah kakak laki-lakinya Mahinda Rajapaksa dipaksa mengundurkan diri, di tengah meningkatnya tekanan pada pemerintah atas salah urus ekonomi.
Mengkomentari peristiwa pembakaran rumahnya, Ranil mengatakan ada latar belakang yang menyebabkan apa yang terjadi malam itu. Ranil menyebut ada miskomunikasi melalui tweet oleh seorang pemimpin partai Muslim yang menganggap dia keberatan membentuk pemerintahan semua partai dan menolak untuk mengundurkan diri.
Meski mengoreksinya dengan mengatakan siap mundur setelah terbentuknya pemerintahan semua partai, sebuah stasiun televisi menghasut masyarakat untuk mengepung rumahnya. Ranil sendiri mengaku telah meminta stasiun TV untuk tidak menghasut para pengunjuk rasa untuk menyerang rumahnya.
Dia mengatakan telah menunda semua pertemuan yang diadakan pada 9 Juli dan tinggal di rumah. Kemudian polisi memintanya untuk meninggalkan rumah karena ada kemungkinan gangguan. Karena ini, Perdana Menteri menyatakan bahwa dia dan istrinya meninggalkan rumah pada malam hari.
"Satu-satunya rumah saya dibakar. Saya memiliki 2.500 buku di perpustakaan saya, satu-satunya aset saya. Ada lebih dari 200 tahun lukisan berharga. Semuanya hancur," katanya dikutip dari Business Standard, Selasa, 12 Juli 2022.
Demonstrasi akbar berlangsung di Sri Lanka pada Sabtu, 9 Juli 2022. Massa menuntut pengunduran diri Presiden Gotabaya Rajapaksa dan Perdana Menteri Ranil Wickremesinghe.
Para pengunjuk rasa menduduki Istana Presiden, kediaman resmi Perdana Menteri, dan juga menguasai kantor sekretariat presiden yang terletak di Galle Face Green. Tempat itu jadi pusat konsentrasi massa pelaku unjuk rasa.
Rakyat Sri Lanka menyalahkan Gotabaya Rajapaksa atas runtuhnya ekonomi yang bergantung pada pariwisata. Krisis kian parah sejak dihantam pandemi COVID-19 dan larangan pupuk kimia yang kemudian dibatalkan.
Keuangan pemerintah dilumpuhkan oleh utang yang menumpuk dan potongan pajak yang diberikan oleh rezim Rajapaksa. Utang luar negeri Sri Lanka meroket hingga US$ 51 miliar atau sekitar Rp 757 triliun. Sri Lanka tidak bisa membayarnya.
Sri Lanka tidak memiliki uang untuk mengimpor barang-barang pokok. Sri Lanka hampir tidak memiliki sisa dolar untuk mengimpor bahan bakar, yang telah dijatah secara ketat.
Adapun menurut Ranil, Dana Moneter Internasional (IMF) telah mencatat butuh empat tahun untuk menstabilkan ekonomi Sri Lanka. Tahun pertama adalah yang terburuk.
Baca: Kemlu Pastikan WNI di Sri Lanka Aman Pasca-Massa Serbu Rumah Presiden
BUSINESS STANDARD | REUTERS