TEMPO.CO, Jakarta - Misi perdamaian Presiden Indonesia Jokowi ke Ukraina dan Rusia dinilai belum berhasil. Hal itu karena Presiden Rusia Vladimir Putin mengabaikan pesan damai Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky yang coba dijembatani Indonesia saat pertemuan di Kremlin, Moskow, Kamis, 30 Juni 2022.
"Presiden Putin terus melanjutkan aksi militer dan perang di Ukraina itu, jadi dari segi misi perdamaian, saya tidak melihat adanya terobosan karena kalau misi perdamaian itu berarti konsep perdamaian diterima oleh kedua pihak, baik Ukraina maupun Rusia," kata Dino Patti Djalal, ketua dari foreign Policy Community of Indonesia dalam pernyataan tertulis yang diterima Tempo, Jumat, 1 Juli 2022.
Eks Wakil Menteri Luar Negeri dalam kabinet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu mencatat, Putin dalam konferensi pers sama sekali tidak menyebut mengenai misi perdamaian dan yang dirujuk hanya mengenai hubungan ekonomi Indonesia-Rusia. Isu lain yang disinggung yakni mengenai ekspor gandum Ukraina.
Walau upaya Jokowi belum membuahkan hasil, Dino beranggapan, Indonesia sebaiknya tidak kecil hati. Musababnya upaya mendamaikan kedua belah pihak sebelumnya oleh Sekjen PBB Antionio Gutteres dan Presiden Turki Tayyip Erdogan juga nihil.
Menurut Dino, jika pemerintah ingin serius terlibat sebagai juru damai kedua belah pihak, harus ada tindak lanjutnya. Sebab proses damai memerlukan waktu yang panjang, bukan dalam satu kunjungan.
Dino berpendapat, tetap perlu ditunjuk satu utusan khusus yang bisa fokus menindak lanjuti agenda presiden dalam kunjungan ke Rusia dan Ukraina jika upaya ini akan diteruskan. Selain itu, perlu juga menjalin komunikasi dengan pihak lain di dunia internasional yang ikut terlibat dalam misi damai ini.
Dalam pernyataan terpisah, pakar hubungan internasional Andrew Mantong dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) mengatakan, konsistensi menjadi hal penting jika Indonesia ingin berperan dalam menjembatani komunikasi antara Rusia dan Ukraina.
Menurut Andrew, misi perdamaian ini bukan hanya sekali saja, melainkan perlu secara berkesinambungan.
"Poinnya tidak hanya menjembatani komunikasi antara Rusia dan Ukraina, tetapi juga menjembatani komunikasi dengan negara-negara lainnya, khususnya negara G7," katanya dalam CSIS Media Briefing di Jakarta, Jumat, seperti dikutip Antara.
Ia menyebutkan beberapa negara Uni Eropa yang menjadi anggota G7, seperti Jerman, Prancis, Inggris, dan Italia sebetulnya memiliki peran penting sehingga harus membuka komunikasi di antara mereka.
Forum G20 sendiri juga bisa berpeluang memiliki agenda side events atau semacam pertemuan informal bagi pihak-pihak yang berpartisipasi untuk membahas perdamaian antara Rusia dan Ukraina.
Menurut Andrew, setiap forum internasional resmi seperti G20 memiliki side events untuk membahas agenda tertentu. Hal ini merupakan salah satu kesempatan yang dapat dimanfaatkan.
Namun, untuk menjadi komunikator atau pihak yang menjembatani komunikasi antara pihak-pihak yang berseteru, memiliki tantangan tersendiri.
"Tantangan untuk saat ini adalah karakter Presiden Rusia Vladimir Putin, kemudian perlu pula mengidentifikasi siapa tokoh di Rusia yang suaranya dianggap penting oleh Presiden Putin agar persepsinya bisa berubah," kata Andrew.
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Prof. Hikmahanto Juwana menilai positif tawaran Indonesia untuk menjembatani komunikasi antara Rusia dan Ukraina.
Namun, hal ini akan sulit untuk direalisasikan karena posisi Jokowi sendiri yang masih menjabat sebagai kepala negara dan pemerintahan.
"Tentunya Presiden Jokowi tidak bisa secara intens untuk melakukan hal tersebut," kata Hikmahanto.
Kemungkinan bisa saja Presiden Jokowi memunculkan sebuah nama dari Indonesia yang dapat menjadi komunikator antara Rusia dan Ukraina.
Selain itu, belum diketahui apakah Rusia dan Ukraina mau menyetujui Indonesia sebagai pihak yang menjembatani komunikasi.
Rusia menyerang Ukraina sejak 24 Februari 2022. Peperangan di bulan kelima saat ini fokus di Donbas, timur Ukraina.
PBB menyebut ada setidaknya 4.700 warga sipil tewas sejak Rusia menginvasi Ukraina pada 24 Februari. Jutaan warga sipil mengungsi keluar dari Ukraina akibat agresi ini.
Kremlin berulang kali membantah menargetkan wilayah sipil. Moskow beberapa kali juga menyatakan operasi militer terpaksa harus dilancarkan demi demiliterisasi dan denazifikasi Ukraina.