Tiga anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mengatakan kepada Reuters, bahwa dugaan pengadaan BIN itu tidak diungkapkan kepada komite pengawasan parlemen yang menyetujui anggarannya. DPR akan menggelar sidang tertutup pekan depan dengan BIN. Sumber dari anggota komisi mengatakan, pembelian senjata akan dibahas.
Mantan jenderal yang juga duduk di komite parlemen yang membawahi BIN, Tubagus Hasanuddin, mengatakan bahwa badan intelijen dapat memperoleh senjata ringan untuk pertahanan diri agennya.
Akan tetapi, setiap senjata kelas militer itu harus untuk tujuan pendidikan atau pelatihan, bukan untuk tujuan tempur.
"Kita perlu melakukan audiensi terlebih dahulu dengan BIN dan memeriksa alasannya. Setelah itu kita akan memeriksa legalitasnya," katanya.
Seorang juru bicara militer Indonesia, Kolonel Wieng Pranoto, mengatakan kepada Reuters bahwa pasukannya tidak menjatuhkan amunisi di desa-desa. Dia menolak mengatakan apakah BIN menyebarkan amunisi.
BIN adalah lembaga pemerintah non-kementerian di bawah otoritas langsung Presiden Joko Widodo, atau yang lebih dikenal sebagai Jokowi. Kantor kepresidenan juga belum menanggapi permintaan komentar tentang pembelian atau penggunaan senjata tersebut.
Hukum Indonesia mengharuskan militer, polisi, dan lembaga pemerintah lainnya untuk meminta izin dari Kementerian Pertahanan untuk membeli senjata, dan mengharuskan mereka untuk menggunakan bahan yang diproduksi oleh industri pertahanan dalam negeri jika tersedia.
Perusahaan pembuat senjata milik negara PT Pindad memproduksi mortir, dan mereka adalah bagian dari persenjataan angkatan bersenjata.
Sumber kementerian pertahanan yang mengetahui sistem pengadaan mengatakan kementerian tidak pernah menyetujui pembelian atau peraturan apa pun yang memungkinkan BIN memperoleh amunisi. "Ini menimbulkan pertanyaan mengapa BIN menginginkan mereka," kata sumber.
Anggota DPR lain yang membawahi BIN mengatakan, dirinya sendiri yang menyelidiki temuan dalam laporan CAR untuk menentukan apakah ada kesalahan. Dia mengatakan telah mendekati BIN dan PT Pindad untuk meminta penjelasan tetapi menemukan hambatan besar. "Pasti ada sesuatu yang sangat, sangat sensitif tentang itu," katanya kepada Reuters.
Juru bicara dan kantor kepala eksekutif PT Pindad tidak menjawab pertanyaan rinci dari Reuters tentang bagaimana mortir itu diperoleh atau siapa yang menggunakannya.
Salah satu komisaris perusahaan, Alexandra Wuhan, menolak untuk membahas secara spesifik pembelian. Walau begitu, Wuhan mengatakan, Pindad berkewajiban dan tunduk pada hukum, aturan, dan peraturan Indonesia tentang pengadaan senjata militer dan sipil, begitu juga BIN sebagai pengguna akhir.
"Pindad tidak dapat bertanggung jawab atas kapan dan di mana senjata digunakan oleh pihak berwenang Indonesia. Kami tidak memiliki kendali seperti itu."