TEMPO.CO, Jakarta - Tiga mantan Anak Buah Kapal (ABK) WNI yang pernah bekerja di kapal penangkap ikan berbendera asing menggugat Presiden RI ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, Selasa, 31 Mei 2022. Gugatan tersebut berisi tuntutan kepada Presiden RI agar segera mengesahkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Penempatan dan Pelindungan Awak Kapal Niaga dan Awak Kapal Perikanan.
Mantan ABK, yang menggugat Presiden tersebut adalah Jati Puji Santoso dan Rizki Wahyudi asal Jawa Tengah serta Pukaldi Sassuanto asal Bengkulu.
Dalam gugatan yang disusun bersama kuasa hukum Viktor Santoso Tandiasa dan Pramita Sandhi Said, mereka menyebut bahwa Presiden sebagai kepala pemerintahan diduga telah melakukan perbuatan melanggar hukum yang menyebabkan ABK WNI terus menjadi korban eksploitasi di kapal ikan asing.
Mantan ABK WNI melayangkan tuntutan kepada Presiden RI untuk segera mengesahkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Penempatan dan Pelindungan Awak Kapal Niaga dan Awak Kapal Perikanan. Sumber: dokumen SBMI
Pasal 64 dan Pasal 90 Undang-undang No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran (UU PPMI) Indonesia mengamanatkan pemerintah untuk menetapkan RPP tentang Penempatan dan Pelindungan Awak Kapal Niaga dan Awak Kapal Perikanan selambat-lambatnya dua tahun setelah diterbitkan. Namun kini, empat tahun lebih Presiden RI dianggap diam atas karut marut tata kelola perekrutan dan pengiriman ABK ke kapal asing.
“Sikap diam pemerintah secara nyata merupakan bentuk perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Presiden RI karena tidak melakukan perintah UU. Sikap diam ini pun berakibat pada timbulnya korban karena tidak ada kepastian hukum atau kekosongan hukum dalam proses penempatan dan pelindungan pekerja migran,” tutur Viktor.
Di tengah kekosongan hukum ini, lanjut Viktor, aktivitas perekrutan dan pengiriman ABK dari Indonesia ke kapal asing terus berlangsung sehingga membuat korban eksploitasi terus berjatuhan. Sepanjang 2021, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) mencatat 188 kasus baru perbudakan ABK di kapal asing. Angka tersebut merupakan jumlah tertinggi yang diterima SBMI dalam satu tahun sejak tahun 2013. Ini membuat total kasus perbudakan ABK yang ditangani oleh SBMI menjadi 634 kasus.
Dalam surat gugatan, tercantum pula bentuk eksploitasi yang dialami oleh Jati, Rizki, dan Pukaldi selama bekerja di kapal ikan asing. Di antaranya ada diskriminasi, kekerasan fisik dan verbal, penahanan upah, serta perintah kerja di luar kontrak yang disepakati. Bahkan setelah berhasil pulang ke Indonesia, mereka kesulitan untuk memperjuangkan hak-hak yang belum dipenuhi.
“Kami mengapresiasi para mantan ABK yang terlibat secara aktif dalam penyusunan gugatan ini. Proses ini jangan dipandang sebagai perlawanan dalam konteks negatif. Kita mengoreksi tindakan pemerintah yang kita anggap melanggar hukum dan, melalui proses hukum di PTUN ini, berharap pengadilan akan memaksa Presiden menjalankan perintah UU PPMI dan segera menerbitkan RPP Pelindungan ABK,” papar Viktor.
Gugatan ini merupakan tindak lanjut dari surat keberatan administratif yang disampaikan oleh ketiga mantan ABK tersebut kepada Presiden RI melalui Kementerian Sekretariat Negara RI pada 7 April lalu. Karena surat tersebut tidak mendapat respon dari Presiden, mereka memutuskan melanjutkan perjuangan dengan menempuh langkah hukum berikutnya, yakni menyerahkan gugatan ke PTUN. Langkah advokasi tiga mantan ABK ini mendapat dukungan dari SBMI dan Greenpeace Indonesia.
Baca juga : 7 ABK WNI Setahun Hilang, Kemlu Desak Mauritius Usut Terus Kasusnya
Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini