TEMPO.CO, Jakarta - Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI Teuku Faizasyah masih melihat konsistensi ASEAN dalam merespons krisis kemanusiaan di Myanmar. Di tengah mandeknya Konsensus Lima Poin ASEAN untuk Myanmar yang mendapat kritik dari kelompok aktivis, Faizasyah menilai ASEAN juga memendam kekecewaan.
"Sebelum ada tanda-tanda perubahan itikad baik dari junta untuk mengimplementasikan FPC, lima poin konsensus, akan sulit kehadiran pada level politik dalam berbagai tingkat pertemuan ASEAN, termasuk yang dicermati di ASEAN-US Summit tidak ada kehadiran perwakilan Myanmar," kata Faizasyah saat ditemui usai jumpa pers Kementerian Luar Negeri RI di Jakarta, Kamis, 12 Mei 2022.
Demonstran menunjukkan salam tiga jari selama protes untuk solidaritas terhadap Pasukan Pertahanan Rakyat Mandalay, di Yangon, Myanmar 22 Juni 2021, dalam tangkapan layar yang diperoleh Reuters dari video media sosial.[REUTERS]
Sebelumnya, kelompok aktivis yang tergabung dalam Justice For Myanmar, yang dalam pernyataan pada Selasa, 10 Mei 2022 mengatakan, Konsensus Lima Poin ASEAN tidak hanya sepenuhnya gagal menyelesaikan krisis Myanmar tetapi juga memungkinkan status quo blok itu terlibat dengan junta yang menciptakan krisis.
Penilaian Justice For Myanmar ini didahului dugaan persekongkolan antara kelompok ASEAN dan junta militer Myanmar dalam sebuah kerja sama pertahanan. Investigasi Justice For Myanmar menyimpulkan, ASEAN diduga membantu kekejaman militer Myanmar.
Justice For Myanmar memaparkan melalui rilisnya, program pertahanan ASEAN telah memungkinkan militer Myanmar untuk berpartisipasi dalam pertemuan, pelatihan, pertukaran intelijen, produksi senjata, penelitian dan pengembangan, keamanan siber, dan pendidikan. Semua program itu masih berlangsung di bawah payung Pertemuan Menteri Pertahanan ASEAN (ADMM).
Juru bicara Justice For Myanmar Yadanar Maung mengatakan, ASEAN benar-benar gagal menegakkan HAM dan hukum humaniter internasional. Padahal, ASEAN tahu betul bahwa militer Myanmar melakukan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan dengan genosida terhadap Rohingya serta percobaan kudeta.
Faizasyah enggan mengomentari hasil investigasi yang dilakukan oleh Justice For Myanmar tersebut. "Pihak manapun bisa saja memberi pandangan atas apa yang terjadi sekarang di Myanmar," kata Faizasyah.
Selain Justice For Myanmar, Amnesty Internasional juga mengungkapkan ketidakpuasan terhadap penerapan Konsensus Lima Poin di Myanmar. Amnesty International mendesak ASEAN untuk menyoroti kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia di Myanmar.
Wakil Direktur Regional untuk Penelitian Amnesty International Emerlynne Gil dalam keterangan tertulis yang dibagikan pada Kamis, 12 Mei 2022 mengatakan, Konsensus Lima Poin adalah kegagalan. Pendekatan itu juga tidak menghentikan militer Myanmar untuk melakukan lebih banyak pelanggaran HAM terhadap rakyat Myanmar setelah kudeta militer 2021.
Gil menyatakan, ASEAN harus mengakui bahwa pelanggaran HAM di Myanmar kini telah menjadi perhatian kawasan. Negara-negara Anggota ASEAN harus merumuskan cetak biru yang lebih rinci untuk meminta pertanggungjawaban militer Myanmar atas pelanggaran hak asasi manusia.
Indonesia, menurut Faizasyah, akan terus menerus mengangkat harapan agar ada perubahan dari sisi junta. "Sebenarnya dengan ada pembatasan bagi partisipasi Myanmar dalam berbagai rangkaian kegiatan ASEAN, maka ini menjadi salah satu 'tekanan' dari negara-negara ASEAN," katanya.
Baca juga: Pakar Prediksi Kendala Koalisi Demokrat - Golkar pada Pemilu 2024
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.