TEMPO.CO, Jakarta - Ferdinand Marcos Jr. atau dikenal dengan nama Bongbong Marcos, sebentar lagi akan didaulat sebagai orang nomor satu di Filipina setelah menang telak atas Leni Robredo dalam pemilihan presiden pada Senin, 9 Mei 2022. Human Rights Watch berharap Bongbong dapat mengambil tindakan cepat dan tegas untuk memperbaiki situasi Hak Asasi Manusia (HAM) di Filipina setelah resmi dilantik.
Wakil Direktur Asia Lembaga Human Rights Watch Phil Robertson menyatakan Bongbong harus menyatakan diakhirinya “perang melawan narkoba” yang telah mengakibatkan pembunuhan di luar proses hukum terhadap ribuan orang Filipina. Dia juga diharapkan bisa memerintahkan penyelidikan yang tidak memihak dan menegakkan penuntutan yang sesuai terhadap pejabat yang bertanggung jawab atas pembunuhan ini.
Robertson mengatakan, Marcos Jr. harus secara terbuka memerintahkan militer, polisi, dan pasukan keamanan lainnya untuk berhenti menargetkan para aktivis, pembela hak asasi manusia dan jurnalis karena pembunuhan dan pelanggaran hak lainnya. Dia juga harus mengakhiri praktik "penandaan merah", yang menuduh para aktivis dan kritikus pemerintah sebagai pejuang atau pendukung Komunis.
"Dia harus sepenuhnya bekerja sama dengan penyelidikan Pengadilan Kriminal Internasional atas tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan yang melibatkan Presiden Rodrigo Duterte dan lainnya," kata Robertson dalam sebuah pernyataan media sosial, Selasa, 10 Mei 2022.
Berdasarkan data hitung cepat, Bongbong unggul atas Robredo dengan meraup suara sebanyak 90 persen. Secara jumlah, dia mendapat 30 juta suara.
Presiden terpilih akan dilantik pada 30 Juni 2022, dengan masa jabatan enam tahun. Sederet masalah besar telah menanti termasuk ekonomi yang dilanda pandemi, kemiskinan yang parah, dan warisan dari tindakan keras anti-narkoba brutal oleh presiden sebelumnya Rodrigo Duterte.
Adapun keunggulan yang tak tergoyahkan Bongbong menunjukkan perubahan haluan yang mencengangkan bagi nasib klan Marcos. Keluarga diktator Marcos terusir dari istana presiden setengah abad yang lalu. Pada 1986, ibu negara senior Imelda Marcos diasingkan melalui revolusi "Kekuatan Rakyat".
Saingan Bongbong, Leni Robredo adalah seorang pengacara dan ekonom berusia 57 tahun. Dalam kampanyenya ia berjanji membersihkan gaya politik kotor yang telah lama mengganggu demokrasi feodal dan korup, di mana segelintir nama keluarga memegang kendali.
Dalam hasil jajak pendapat pilpres Filipina sebelumnya, Bongbong unggul telah dibandingkan Robredo, yang bersekutu dengan gerakan yang menggulingkan kediktatoran ayahnya pada 1986. Empat tahun setelah jatuh, keluarga Marcos kembali ke Filipina dari pengasingan dan memulai kembali debut politiknya.
Adapun pasangan wakil presiden Bongbong dalam pemilu kali ini adalah Sara Duterte, putri dari Presiden Duterte. Kemitraan mereka memang dinilai paling berpeluang, tetapi menambah kekhawatiran para aktivis HAM.
Myles Sanchez, aktivis HAM, khawatir sejarah akan terulang jika keduanya memimpin Filipina. "Mungkin ada pengulangan darurat militer dan pembunuhan narkoba yang terjadi di bawah orang tua mereka," katanya seperti dilansir NPR, Senin.
Human Rights Watch, bagaimanapun tetap mendorong Bongbong untuk tetap mendukung Filipina untuk bergabung kembali dengan Statuta Roma dari Pengadilan Kriminal Internasional.
Ferdinand Marcos Jr. seharusnya berusaha untuk membalikkan pelanggaran hak asasi manusia oleh pemerintahan Duterte. "Terutama dengan menjatuhkan dakwaan terhadap Senator Leila de Lima dan memerintahkan pembebasannya dari penahanan" katanya.
Baca: Kembalinya Keluarga Marcos Berkuasa di Filipina Disambut Protes Mahasiswa
HUMAN RIGHT WATCH | NPR