TEMPO.CO, Jakarta - Protokol kesehatan Covid-19 Selandia Baru yang pernah dipuji, mendapat pukulan ketika hakim Pengadilan Tinggi memutuskan sistem penjatahan fasilitas karantina perbatasan melanggar hak warga untuk pulang dari luar negeri.
Selandia Baru belum lama melonggarkan pembatasan, tetapi selama 2020 dan 2021 memiliki beberapa kontrol perbatasan terberat di dunia.
Warga yang ingin kembali dari luar negeri harus mengajukan permintaan darurat kepada pemerintah atau mengamankan tempat di fasilitas karantina negara, yang disebut MIQ. Karena permintaan melebihi kamar hotel, sistem lotere diperkenalkan.
Itu membuat puluhan ribu ekspatriat Selandia Baru terputus dari keluarga di rumah. Para kritikus menyebut sistem itu tidak adil, sesuatu yang disetujui oleh keputusan yang dirilis Rabu, 27 April 2022, oleh Hakim Pengadilan Tinggi Jillian Mallon.
Mallon mengatakan pembatasan yang mencegah seseorang untuk dapat memasuki negara mereka selama tiga bulan tidak dapat dibenarkan dan bukti menunjukkan setidaknya beberapa warga Selandia Baru mengalami penundaan yang tidak masuk akal.
"Kombinasi lobi virtual dan kriteria darurat yang sempit beroperasi dengan cara yang membuat hak warga Selandia Baru untuk memasuki negara mereka dapat dilanggar dalam beberapa kasus," kata Mallon.
Namun, Mallon menemukan bahwa mengharuskan warga Selandia Baru dari luar negeri masuk karantina bukanlah pelanggaran yang tidak dapat dibenarkan.
Menteri Tanggap COVID-19 Chris Hipkins mengatakan pemerintah menyambut baik keputusan yang mewajibkan orang yang kembali ke karantina adalah sah dan mengakui pengadilan menemukan sistem alokasi karantina mungkin telah melanggar beberapa hak warga Selandia Baru.
"Kami hati-hati mempertimbangkan keputusan pengadilan," katanya.
Warga Selandia Baru dan Australia sekarang dapat masuk tanpa karantina dan mereka yang berasal dari negara bebas visa seperti Amerika Serikat dan Singapura akan dapat masuk mulai pukul 23.59 pada 1 Mei 2022.
Reuters