TEMPO.CO, Jakarta - Pihak berwenang China di Xinjiang membatasi jumlah muslim yang diizinkan berpuasa di bulan Ramadan. Keputusan ini menuai kritik keras dari kelompok-kelompok hak asasi yang melihat arahan pemerintah itu sebagai upaya mengurangi budaya Uyghur di Xinjiang, China.
Dilansir dari Radio Free Asia, Selasa, 5 April 2022, selama bertahun-tahun, para pejabat di Daerah Otonomi Uyghur Xinjiang (XUAR) telah melarang Uyghur dan muslim Turki lainnya menjalankan ibadah di bulan Ramadan termasuk puasa. Larangan itu berlaku untuk pegawai negeri sipil, siswa dan guru.
Beberapa komite lingkungan di Urumqi dan beberapa pejabat desa di prefektur Kashgar (Kashi) dan Hotan (Hetian) telah menerima pemberitahuan. Hanya 10-50 muslim yang diizinkan berpuasa selama Ramadan. Mereka yang berpuasa harus mendaftar lebih dulu ke pihak berwenang, menurut administrator lokal dan polisi di Xinjiang.
“Langkah-langkah Ramadan sedang diambil,” kata seorang polisi desa di kotapraja Tokkuzak (Toukezhake) Kashgar. “Tujuannya untuk menghilangkan (Uyghur) yang takut berpuasa, selain keamanan, karena tidak boleh ada kesalahpahaman tentang kebijakan agama Partai (Komunis China).”
Seorang administrator desa yang mengawasi 10 keluarga di daerah Ghulja (Yining) di Prefektur Otonomi Ili Kazakh (Yili Hasake), mengatakan pendaftaran sudah berlangsung di komunitasnya. Mereka yang boleh berpuasa adalah orang tua dan orang dewasa. Namun anak usia sekolah dilarang berpuasa.
“Sistem ini dirancang untuk menghindari agama memberikan efek negatif pada pikiran anak-anak,” katanya. “Ada banyak propaganda tentang itu sekarang. Ada kader dari desa yang mendaftarkan orang-orang yang memenuhi kriteria puasa.”
Administrator lain yang mengawasi 10 keluarga di kota Atush (Atushi) di Prefektur Otonomi Kizilsu Kirghiz mengatakan menerima pemberitahuan tentang pembatasan puasa dari otoritas setempat. “Dari 10 keluarga yang saya pimpin, dua adalah Tahir dan Ahmet, diidentifikasi sebagai keluarga yang bisa berpuasa,” katanya. “Keduanya sudah tua dan tidak punya anak di rumah.”
Seorang karyawan Uighur di sebuah hotel yang dihubungi oleh RFA pada hari Rabu mengatakan tidak bisa mengatakan apa-apa tentang Ramadan. Dia lalu menutup telepon.
Dalam beberapa tahun terakhir, pihak berwenang telah memperingatkan warga Uyghur bahwa mereka dapat dihukum karena berpuasa. Warga yang bersikeras berpuasa akan dikirim ke salah satu jaringan kamp interniran XUAR yang luas.
Di kamp itu, otoritas China disebut telah menahan hingga 1,8 juta orang Uyghur dan minoritas Muslim lainnya sejak April 2017. Pihak berwenang juga telah memaksa pensiunan untuk berjanji menjelang Ramadhan bahwa mereka tidak akan berpuasa atau melaksanakan salat tarawih.
“Sungguh menyedihkan dan tragis melihat pemberitahuan dari pemerintah China bahwa hanya orang-orang tertentu yang dapat berpuasa,” kata Turghunjan Alawudun, direktur Komite Urusan Agama di Kongres Uyghur Dunia (WUC) di Jerman.
“Dunia Muslim akan menertawakan tindakan China dan tercengang dengan penetapan kuota bagi mereka yang bisa berpuasa.”
Proyek Hak Asasi Manusia Uyghur yang berbasis di Washington mengeluarkan pernyataan pada Kamis pekan lalu. Lembaga ini menunjukkan solidaritas bagi orang Uyghur di Xinjiang yang tidak dapat mengadakan buka puasa.
“Tidak akan ada Ramadan untuk Uyghur tahun ini atau tahun kapan pun, sampai kampanye genosida China diakhiri,” kata pernyataan itu.
Presiden WUC Dolkun Isa mengatakan China telah mengubah Ramadan menjadi bulan penderitaan yang mengerikan bagi orang-orang Uyghur. Isa meminta para pemimpin Muslim di seluruh dunia untuk mengutuk pelanggaran hak asasi yang terjadi di Xinjiang.
Baca: Cina Persilakan Komisi HAM PBB ke Xinjiang, tapi Dengan Syarat
RADIO FREE ASIA