TEMPO.CO, Jakarta - Kondisi ketidakstabilan di Myanmar sejak kudeta militer setahun lalu, telah berdampak pada naiknya produksi dan perdagangan narkoba di negara yang dulu bernama Burma tersebut. Jeremy Douglas Kepala Office on Drugs and Crime (UNODC) wilayah Asia Tenggara mengatakan produksi sabu pada tahun lalu meningkat, padahal produksi narkoba di wilayah utara Myanmar sudah sangat tinggi dan belum menunjukkan tanda mereda.
“Narkoba dan konflik adalah hal yang masih belum bisa dipisahkan di Myanmar, keduanya seperti saling memberi makan. Kekacauan dan ketidakstabilan membuat para pengedar narkoba bisa bekerja,” kata Douglas.
Pendemo yang memprotes aksi kudeta militer di Myanmar membawa poster bertuliskan "Saya benci kudeta militer melebihi klub sepakbola Manchester United." Sejumlah poster unik terlihat dalam aksi damai tersebut. 9GAG.com
Sebelumnya pada bulan lalu, otoritas di Laos, Thailand dan Myanmar menyita setidaknya 90 juta tablet methamphetamine dan 4,4 ton crystal methamphetamine. UNODC mengatakan sebagian besar barang haram tersebut, dibuat di area pinggir perbatasan negara bagian Shan, Myanmar.
Menurut Douglas kesulitan ekonomi telah mencengkram Myanmar sejak kudeta terjadi pada Februari 2021. Para petani di negara bagian Shan tanpa tak punya pilihan selain kembali menanam opium dalam jangka pendek dan jangka menengah.
Data dari Office of Narcotics Control Board (ONCB) menyebut Thailand, yang berbatasan dengan Myanmar, secara tradisional telah menjadi area lalu-lintas bagi obat-obatan terlarang, yang diproduksi di Myanmar. Terhitung pada Oktober 2020 hingga September 2021, 520 juta tablet methamphetamine di sita atau naik dibanding setahun sebelumnya yang menyita 361 juta methamphetamine.
Sumber: Reuters
Baca juga: Uni Afrika Tangguhkan Aktivitas Burkina Faso Pasca-kudeta
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.