TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Armenia, Armen Sarkissian, mengajukan pengunduran diri pada hari Minggu, 23 Januari 2022, karena merasa konstitusi tidak memberinya kekuatan yang cukup untuk bertindak.
Sarkissian, presiden sejak 2018, berselisih dengan Perdana Menteri Nikol Pashinyan tahun lalu karena sejumlah masalah, termasuk pemecatan kepala angkatan bersenjata.
Peran perdana menteri dipandang lebih kuat daripada presiden.
"Saya sudah berpikir lama, saya telah memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatan Presiden Republik setelah bekerja aktif selama sekitar empat tahun," kata Sarkissian dalam sebuah pernyataan yang dipublikasikan di situs resmi presiden.
"Pertanyaan yang mungkin muncul adalah mengapa Presiden gagal mempengaruhi peristiwa politik yang membawa kita ke krisis nasional saat ini. Alasannya jelas - kurangnya alat yang tepat ... - Konstitusi. Akar dari beberapa potensi kita masalah tersembunyi dalam undang-undang dasar saat ini."
Pada referendum Desember 2015, Armenia menjadi republik parlementer, sementara kekuasaan presiden secara signifikan dibatasi.
Sarkissian dalam pernyataannya tidak secara langsung merujuk pada peristiwa atau isu tertentu.
Armenia menyetujui gencatan senjata dengan Azerbaijan November lalu di perbatasan mereka, setelah Rusia mendesak mereka untuk mundur dari konfrontasi menyusul bentrokan paling mematikan sejak perang enam minggu pada tahun 2020 ketika Moskow juga menengahi kesepakatan damai untuk mengakhiri permusuhan.
Perdana Menteri Pashinyan sejak itu berada di bawah tekanan, dengan protes jalanan reguler menuntut dia mundur karena persyaratan perjanjian damai. Di bawah kesepakatan 2020 yang ditengahi oleh Rusia, Azerbaijan mendapatkan kembali kendali atas wilayah yang telah hilang selama perang di awal 1990-an.
Armenia memisahkan diri dari Uni Soviet pada 1991 tetapi tetap bergantung pada Rusia untuk bantuan dan investasi. Banyak orang Armenia menuduh pemerintah korup dan salah menangani ekonomi.
REUTERS