TEMPO.CO, Jakarta -Penerbangan yang membawa bantuan kemanusiaan pertama akhirnya akan tiba di Tonga pada Kamis 20 Januari 2022. Bantuan dari Australia dan Selandia Baru itu tiba setelah negara di Pasifik Selatan tersebut sempat terisolasi dari dunia selama lima hari pasca-letusan gunung berapi dan tsunami.
Menteri Pertahanan Australia Peter Dutton mengatakan sebuah pesawat Angkatan Udara Australia yang sarat dengan pasokan kemanusiaan akan segera mendarat di Tonga siang waktu setempat.
Australia juga mengirimkan mesin penyapu dari Brisbane untuk membantu menghilangkan abu dari landasan pacu bandara. Pesawat lain dari Benua Kanguru juga dijadwalkan akan berangkat hari ini.
Sementara Menteri Luar Negeri Selandia Baru Nanaia Mahuta mengatakan angkatan udaranya juga telah mengirimkan C-130 Hercules dari Auckland yang akan mendarat di ibu kota Tonga, Nuku'alofa, sekitar pukul 4 sore waktu Selandia Baru.
"Pesawat itu membawa bantuan kemanusiaan dan pasokan bantuan bencana, termasuk wadah air, tempat penampungan sementara, generator, peralatan kebersihan dan keluarga, serta peralatan komunikasi," ujar Mahuta.
Ia menambahkan, pengiriman pasokan akan dilakukan tanpa kontak dan pesawat diharapkan berada di darat hingga 90 menit sebelum kembali ke Selandia Baru. Sebelum bencana lima hari lalu, Tonga tercatat sebagai negara yang bebas COVID-19 dan mereka khawatir personel bantuan asing dapat membawa virus.
Ledakan gunung berapi Hunga Tonga-Hunga Ha'apai, yang telah menewaskan sedikitnya tiga orang dan mengirimkan gelombang tsunami ke seluruh Pasifik, menyababkan kerusakan di berbagai wilayah Tonga. Bencana ini juga memutus komunikasi sekitar 105 ribu orang sejak Sabtu lalu.
Hubungan telepon antara Tonga dan dunia mulai terhubung kembali pada Rabu malam. Kendati demikian, pemulihan koneksi internet kemungkinan akan memakan waktu satu bulan atau lebih.
Berbicara kepada Reuters dari Nuku'alofa, jurnalis lokal Marian Kupu mengatakan warga Tonga sedang membersihkan semua debu dari letusan gunung berapi. Namun, mereka khawatir akan kehabisan air minum.
“Masing-masing rumah memiliki tangki penampung airnya masing-masing, tetapi kebanyakan penuh dengan debu sehingga tidak aman untuk diminum,” kata Kupu.
Kupu mengatakan beberapa desa di sisi barat Tonga terkena dampak yang sangat parah.
"Saya tidak akan mengatakan kami mengharapkan lebih banyak kematian. Saat ini pemerintah sedang mencoba untuk terbang ke pulau-pulau lain untuk memeriksa mereka," katanya.
Ketika ditanya apakah ada cukup persediaan makanan, dia berkata: "Saya dapat mengatakan mungkin kita dapat bertahan selama beberapa minggu ke depan, tetapi saya tidak yakin tentang air."
Sementara itu, penduduk Tonga di luar negeri dengan panik memanggil keluarga mereka kembali ke rumah untuk memastikan keselamatan mereka.
"Hari ini ada napas lega karena kami dapat berkomunikasi dengan orang yang kami cintai di rumah," kata John Pulu, seorang Tonga yang berbasis di Auckland, yang merupakan tokoh televisi dan radio.
"Kami bernapas dan tidur sedikit lebih baik," katanya.
Perserikatan Bangsa-Bangsa mengatakan bahwa sekitar 84.000 orang – lebih dari 80 persen populasi –terkena dampak parah dari bencana tersebut.
"Mereka terkena dampak karena kehilangan rumah, kehilangan komunikasi, yang kami pahami adalah masalah air," kata juru bicara PBB Stephane Dujarric kepada wartawan.
Baca juga: Hindari Wabah COVID-19 di Tonga, PBB Siapkan Operasi Bantuan Jarak Jauh
SUMBER: REUTERS
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.