TEMPO.CO, Jakarta - Sebanyak lima pendeta Kristen tewas dibunuh dan empat lainnya ditahan di Myanmar sejak militer merebut kekuasaan melalui kudeta. Dilansir dari Radio Free Asia, kekerasan terhadap pemimpin agama meningkat dalam 10 bulan terakhir.
Salai Za Op Lin, wakil direktur eksekutif Grup Hak Asasi Manusia Chin, mengatakan bahwa sebagian besar korban berasal dari Kota Kanpetlet, Mindat, Matupi dan Thantlang. “Catatan kami menunjukkan ada sembilan pemimpin Kristen, termasuk pendeta, yang menderita di tangan junta. Lima dari sembilan tewas,” katanya. "Hal serupa terjadi di wilayah Magway di luar negara bagian Chin."
Baca Juga:
Um Kee, seorang pendeta berusia 30 tahun dari desa Otpo Kanpetlet, ditangkap dari rumahnya pada 11 Desember 2021. Dua hari kemudian, penduduk setempat menemukan mayatnya di dekat Hotel Pan Laybyay.
Seorang warga yang namanya tak disebutkan mengatakan kepada Radio Free Asia, bahwa Um Kee telah ditikam di perut dan ditembak di kepala. “Dia dikabarkan dibawa untuk dimintai keterangan. Kami tahu dia ditangkap. Mayatnya ditemukan di pinggir jalan keesokan harinya,” kata warga.
Salai Ngwe Kyar, seorang pendeta Kristen dari Kota Saetottara Magway, ditangkap setelah dituduh sebagai anggota milisi Tentara Pertahanan Rakyat (PDF). Penduduk setempat mengatakan dia meninggal di Rumah Sakit Magway pada 9 Desember karena luka yang diderita selama interogasi.
Juru bicara junta Mayjen Zaw Min Tun membantah bahwa ada pendeta yang meninggal selama interogasi. Dia menambahkan bahwa laporan tentang seorang pemimpin Kristen Chin yang telah dibunuh oleh militer adalah palsu. Dia menyebutkan bahwa pendeta tersebut tewas dalam baku tembak antara pasukan pemerintah dan CDF.
Selain membunuh pendeta, sebuah kelompok pemberontak Myanmar mengatakan telah mengubur sisa-sisa tubuh lebih dari 30 orang yang tewas dan dibakar oleh junta militer. Aktivis oposisi menyalahkan tentara Myanmar atas serangan 24 Desember di dekat desa Mo So di Negara Bagian Kayah. Dalam serangan itu, kelompok bantuan Save the Children mengatakan dua stafnya tewas.
Seorang juru bicara militer belum mengomentari serangan itu. Namun media pemerintah di Myanmar yang dikelola militer sebelumnya melaporkan bahwa tentara telah menembak dan membunuh sejumlah teroris bersenjata di desa itu.
"Kami mengubur setiap mayat yang kami temukan di tempat kejadian," kata seorang komandan Pasukan Pertahanan Nasional Karenni (KNDF), salah satu pasukan sipil terbesar yang dibentuk untuk menentang kudeta militer 1 Februari.
Foto-foto yang diunggah di media online menunjukkan anggota KNDF mengubur jenazah di kuburan yang dilapisi dengan balok beton. Bunga-bunga berserakan di atas mayat dan lilin dinyalakan di samping kuburan.
Komandan yang menolak disebutkan namanya karena alasan keamanan, mengatakan meskipun sulit untuk mengidentifikasi mayat yang dikuburkan pada hari Rabu, dia yakin mereka termasuk staf Save the Children.
Seorang juru bicara Save the Children menolak berkomentar, tetapi kelompok itu sebelumnya telah mengkonfirmasi bahwa dua pekerjanya tewas dalam serangan itu. Keduanya adalah pria yang sudah menikah.
Komunitas internasional telah menyatakan keterkejutannya atas serangan itu. Kedutaan Amerika Serikat di Myanmar menggambarkan serangan itu sebagai biadab.
Baca: Aktor Top Myanmar Paing Takhon Divonis 3 Tahun karena Demo Menentang Kudeta
RADIO FREE ASIA | REUTERS