TEMPO.CO, Jakarta - Sebuah dekrit tentang hak-hak perempuan yang dikeluarkan oleh Taliban yang melarang pernikahan paksa merupakan langkah maju yang besar, kata dua advokat hak perempuan Afghanistan pada Jumat, tetapi masih ada pertanyaan tentang apakah Taliban akan memperluas hak-hak perempuan seputar pekerjaan dan pendidikan.
Pemerintah Taliban Afghanistan pada Jumat mengeluarkan sebuah dekrit yang mengatakan bahwa perempuan tidak boleh dianggap "properti" dan harus menyetujui pernikahan.
"Ini besar, ini sangat besar...jika dilakukan seperti yang seharusnya, ini adalah pertama kalinya mereka membuat keputusan seperti ini," kata Mahbouba Seraj, direktur eksekutif Afghan Women's Skills Development Center berbicara dari Kabul pada panel konferensi Reuters Next pada Jumat, dikutip dari Reuters, 4 Desember 2021.
Komunitas internasional, yang telah membekukan miliaran dolar dana untuk Afghanistan, telah menjadikan perempuan dan hak asasi manusia sebagai elemen kunci dari setiap keterlibatan masa depan dengan Afghanistan.
Seraj mengatakan, bahkan sebelum Taliban mengambil alih negara itu pada 15 Agustus, para politisi Afghanistan telah berjuang untuk membentuk kebijakan yang jelas tentang hak-hak perempuan seputar pernikahan.
"Sekarang yang harus kita lakukan sebagai perempuan di negara ini adalah kita harus memastikan ini benar-benar terjadi dan dilaksanakan," kata Seraj, yang organisasnya menjadi tempat perlindungan bagi perempuan yang rentan.
Roya Rahmani, mantan duta besar Afghanistan untuk Amerika Serikat, menggemakan optimismenya dan menambahkan bahwa keluarnya dekrit itu kemungkinan sebagai upaya Taliban tentang hak-hak perempuan, ketika pemerintahan Taliban berusaha mendapatkan dana yang dibekukan.
"Suatu hal yang luar biasa jika itu benar-benar diterapkan," kata Rahmani kepada panel Reuters Next, menambahkan rincian seperti siapa yang akan memastikan bahwa persetujuan anak perempuan tidak dipaksakan oleh anggota keluarga akan menjadi kuncinya.
"Ini adalah langkah yang sangat cerdas dari pihak Taliban saat ini karena salah satu berita yang menarik perhatian Barat adalah fakta bahwa gadis-gadis kecil dijual sebagai properti kepada orang lain untuk memberi makan anggota keluarga lainnya," katanya.
Sejumlah anak-anak perempuan bersiap memasuki ruang kelas di sebuah sekolah di Kabul, Afghanistan, 18 September 2021. WANA (West Asia News Agency) via REUTERS
Perempuan Afghanistan yang diwawancarai oleh CNN pada Jumat mengatakan, keputusan tersebut tidak akan banyak mengubah hidup mereka, menambahkan bahwa hak-hak yang dirinci oleh Taliban sudah diabadikan di bawah hukum Islam.
"(Keputusan) tidak ada hubungannya dengan hak kami untuk bersekolah, kuliah di universitas, atau berpartisipasi dalam pemerintahan. Kami tidak melihat harapan untuk masa depan kami jika terus seperti ini," kata Muzhda, seorang mahasiswi berusia 20 tahun di Kabul, yang meminta agar nama keluarganya tidak digunakan, saat diwawancara oleh CNN.
"Kami tidak merasa nyaman sejak Taliban mengambil alih dan kami tidak akan merasa nyaman setelah keputusan ini...jika mereka tidak membawa perubahan pada aturan mereka untuk hak-hak perempuan, kami akan memilih untuk tetap tinggal di dalam," katanya.
Dekrit itu tampaknya tidak akan cukup untuk meredakan kekhawatiran internasional bahwa perempuan Afghanistan saat ini tidak dapat bekerja dan pergi ke sekolah, atau bahkan mengakses ruang publik di luar rumah.
"Sudah menjadi semakin jelas bagi Taliban selama tiga setengah bulan terakhir bahwa hak-hak perempuan, khususnya pendidikan anak perempuan, adalah penghalang yang sangat serius untuk mencapai beberapa hal yang mereka inginkan dari komunitas internasional - pengakuan, legitimasi, pendanaan. , pencairan aset," kata Heather Barr, direktur asosiasi hak-hak perempuan di Human Rights Watch, mengatakan kepada CNN.
Selama pemerintahan sebelumnya dari tahun 1996 hingga 2001, Taliban melarang perempuan meninggalkan rumah tanpa kerabat laki-laki dan wajib menutupi seluruh wajah dan kepala, serta melarang anak perempuan menerima pendidikan, memaksa laki-laki untuk menumbuhkan janggut, dan melarang bermain musik.
Kelompok itu mengatakan mereka telah berubah tetapi banyak perempuan, advokat dan pejabat tetap skeptis.
Pemerintah internasional telah membekukan miliaran dolar dalam cadangan bank sentral dan memotong dana pembangunan untuk Afghanistan, menjerumuskan ekonomi yang sangat bergantung pada bantuan asing ke dalam krisis, dan membuat para ekonom serta kelompok bantuan memperingatkan bencana kemanusiaan.
Seraj mengatakan Taliban sekarang perlu melangkah lebih jauh, menyerukan juru bicara kelompok itu Zabihullah Mujahid untuk mengeluarkan lebih banyak aturan untuk mengklarifikasi hak-hak perempuan untuk mengakses ruang publik.
"Apa yang saya tunggu-tunggu selanjutnya dari kelompok yang sama, dari orang yang sama, dia mengirim surat keputusan tentang pendidikan dan hak kerja bagi perempuan Afghanistan, itu benar-benar fenomenal," katanya.
Ahmad Sarmast, pendiri dan direktur Afghanistan National Institute of Music, memperingatkan bahwa Taliban telah menunjukkan sedikit tanda perubahan dalam hal mengizinkan seni dan kebebasan berekspresi.
Saat ia memfasilitasi ratusan siswa dan keluarga mereka untuk meninggalkan negara itu dan melarikan diri ke Portugal, Taliban menutup institutnya dan fakultas musik dan seni lainnya di negara itu.
Meskipun kelompok itu tidak mengeluarkan kebijakan mereka tentang musik, dia mengatakan bahwa dia berhubungan dengan banyak musisi Afghanistan yang menyembunyikan instrumen mereka dan hidup dalam ketakutan.
"Tidak ada dekrit resmi yang melarang musik atau pendidikan musik, tetapi praktiknya ada di sini. Musik telah memudar dari udara Afghanistan," katanya.
Para pemimpin Taliban telah menampilkan wajah kelompok yang lebih moderat kepada dunia dalam beberapa bulan terakhir, berjanji untuk mengizinkan pendidikan dasar dan beberapa pendidikan menengah untuk anak perempuan, tetapi para aktivis hak perempuan tidak yakin pandangan mereka telah berubah.
Menurut Barr, pandangan mereka lebih utuh dibandingkan dengan 1996 hingga 2001, tentang apa peran perempuan dan anak perempuan seharusnya. "Jadi, dalam konteks itu, ini tampak seperti pernyataan yang tidak membebani mereka," katanya.
Barr mencatat bahwa, secara praktis, Taliban tidak memiliki cara untuk menegakkan hak-hak perempuan setelah menghapus semua mekanisme untuk melakukannya. Sejak berkuasa, Taliban telah menghapus Kementerian Urusan Perempuan, sebuah badan kunci dalam mempromosikan hak-hak perempuan melalui undang-undang Afghanistan.
Taliban juga membatalkan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, yang ditandatangani pada tahun 2009 untuk melindungi perempuan Afghanistan dari pelecehan, termasuk pernikahan paksa, yang membuat mereka tidak mendapatkan keadilan, menurut PBB.
Baca juga: Taliban Larang Perempuan Berakting dan Presenter Perempuan Wajib Pakai Jilbab
REUTERS | CNN