TEMPO.CO, Jakarta - Pemilihan Presiden Libya untuk mengakhiri kekacauan selama bertahun-tahun, tampaknya dapat memicu konflik baru dengan munculnya dua kandidat yang dituduh melakukan kejahatan perang
Kandidat bermasalah itu adalah Saif al-Islam Gaddafi, dicari secara internasional atas perannya dalam menghancurkan revolusi 2011 yang menggulingkan ayahnya Muammar.
Satu calon bermasalah lainnya adalah komandan wilayah timur Libya, Khalifa Haftar, yang mengepung Tripoli dari 2019-2020, mengumumkan pencalonannya pada Selasa, 17 November 2021.
Pengumuman Gaddafi dengan cepat menimbulkan protes jalanan. Pencalonan Haftar dapat memicu protes serupa hingga ancaman memboikot pemungutan suara.
Kurang dari enam minggu sebelum pemungutan suara akan berlangsung, perselisihan mengenai siapa yang harus diizinkan mencalonkan diri dalam pemilihan presiden langsung pertama negara itu tampaknya akan memburuk.
"Rakyat diminta untuk menyadari risiko bahwa proses demokrasi dapat menghasilkan sesuatu yang mereka anggap menjijikkan... mungkin lebih baik membiarkan rakyat memutuskan," kata seorang diplomat kepada Reuters.
Mereka yang mendukung pendekatan itu - termasuk kandidat terkemuka - mengatakan proses demokrasi adalah satu-satunya cara untuk bergerak menuju resolusi politik yang langgeng. Pembatalan atau penundaan pemungutan suara akan menyebabkan situasi jauh lebih tidak stabil.
Faksi-faksi Timur telah memperingatkan mereka menolak perubahan jadwal pemilihan yang telah ditetapkan pada 24 Desember 2021.
Rakyat Libya mengingat bencana setelah pemilihan umum terakhir yang didukung internasional pada 2014, ketika parlemen sebelumnya dan kelompok-kelompok bersenjata yang kuat menolak pemilihan tersebut.
Perselisihan itu memicu perpecahan yang sudah membara antara faksi timur dan barat, menjerumuskan Libya ke dalam perang antara kubu Tripoli dan Benghazi.
Luka masih menganga
Meskipun suasana di Libya sekarang lebih stabil, namun luka warga di wilayah Barat masih menganga setelah serangan Haftar ke Tripoli. Serangan itu membuat sebagian besar kota hancur.
Sebuah kelompok sekutu dituduh melakukan sejumlah pembunuhan di Tarhouna terdekat dan mengubur korban di kuburan massal. Haftar menyangkal pelanggaran tersebut.
Gaddafi dicari oleh Pengadilan Kriminal Internasional untuk kejahatan perang yang dilakukan pada 2011. Pengadilan Tripoli menjatuhkan hukuman mati atas kejahatan yang sama pada 2015. Dia juga menyangkal kejahatan perang.
Aktivis mempertanyakan apakah pemilihan yang diadakan di daerah di mana angkatan bersenjata bersekutu dengan salah satu kandidat bisa adil meskipun dengan pemantauan internasional.
Undang-undang pemilu yang sekarang dibahas - dikeluarkan dalam keadaan kontroversial oleh ketua parlemen Aguila Saleh- mungkin mengesampingkan kemungkinan calon terdepan: Perdana Menteri Abdulhamid al-Dbeibah.
Undang-undang mengharuskan pejabat yang ikut pemilihan harus mengundurkan diri dari tugas mereka tiga bulan sebelum pemungutan suara, yang dia dan Haftar lakukan pada akhir September.
Dbeibah, yang telah berjanji untuk tidak mencalonkan diri ketika dia ditunjuk untuk memimpin pemerintahan sementara pada Maret melalui proses PBB, belum mundur dan menyebut undang-undang pemilihan Saleh "cacat".
Masyarakat Libya berharap mendapatkan pemerintahan yang demokratis dan bersih, bisa terwujud dalam pemilu ini.