TEMPO.CO, Jakarta - Korea Selatan saat ini telah menjadi salah satu negara terdepan dalam hal ekspor budaya popular setelah Amerika Serikat, Inggris, dan Jepang. Kesuksesan ini tidak terjadi dalam semalam, namun dibangun sejak 20 tahun silam.
Kim Eungi, profesor bidang international studies dari Universitas Korea, menjelaskan ekspor budaya popular tercetus ketika Presiden Kim Dae Jung, yang berkuasa pada 1998 – 2003, mendapat laporan kalau kesuksesan film Jurassic Park sama dengan pendapatan dari penjualan ekspor mobil Hyundai pada tahun yang sama (film dirilis).
“Presiden lalu bilang ‘kita harus melakukan sesuatu dalam hal budaya’. Sebab ini bisa mendorong nilai yang sama dengan ekspor barang. Lalu Pemerintah Korea Selatan untuk pertama kali mengubah fokus kebijakan dari manufaktur ke sekto budaya,” kata Kim, dalam acara Indonesia Korea Journalist Network 2021 hasil kerja sama Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) dengan Korea Foundation, Jumat, 12 November 2021.
Sebagai salah satu bentuk keseriusan Pemerintah Korea Selatan dalam mengembangkan budaya popular adalah membentuk badan khusus yang bertugas mempromosikan ekspor budaya. Namun Kim menekankan, Seoul tidak pernah memberikan uang subsidi ke artis.
Salah satu upaya promosi budaya popular yang dilakukan Pemerintah Korea Selatan adalah mengundang selebriti untuk makan bersama Presiden.
Lambat laun, budaya Korea bisa diterima negara-negara barat. Ini diantaranya ditandai dengan masuknya 26 kata bahasa Korea ke dalam kamus Oxford, contohnya hallyu, K-drama, mukbang, deabak dan fighting.
Contoh lain kesuksesan ekspor budaya popular Korea Selatan adalah film Parasite yang memenangkan piala Oscar pada 2019. Pada September 2020, boyband BTS mendapat kehormatan memberikan pidato di sidang umum PBB ke-75. Pidato BTS ketika itu menyoroti persoalan anak-anak muda, salah satunya kesehatan mental.
Personel BTS, RM dan Jungkook berpidato saat pembukaan SDG Moment dalam rangka Sidang Majelis Umum PBB di New York, AS, 20 September 2021. Tak hanya berpidato, BTS juga menyanyi lagu Permission to Dance di luar dan dalam gedung PBB. John Angelillo/Pool via REUTERS
Menurut Kim, diplomasi budaya baru berhasil jika ada mutual understanding dengan negara lain, dibungkus dengan gagasan yang matang dan mendapat dukungan pemerintah di dalam negeri. Sebagai contoh, ketika Korea Selatan dan Jepang bersitegang soal Pulau Dokdo yang sedang dipersengketakan, maka diplomasi budaya bisa jadi tidak ada pengaruhnya.
“Pemerintah tidak pernah memproyeksi akan seberapa besar Hallyu (Korean wave). BTS juga enggak menyangka bakal sebesar ini. Pada akhirnya, dunia yang putuskan,” kata Kim.
Lebih lanjut, Kim menyadari tidak semua K-pop dan K-drama diterima dengan positif. Misalnya, K-drama yang kadang tidak realistis, dengan cenderung menampilkan gaya hidup upper middle class sehingga menimbulkan kekhawatiran para ahli. Untungnya, sekarang jalan cerita K-drama sudah di buat beragam, contohnya serial drama Squid Games.
Media asing juga menyoroti persoalan training, dimana si artis yang membiayai semua kebutuhan training, hingga masalah slave contract. Terkait slave contract, Kim meyakinkan Pemerintah Korea Selatan sudah ikut ambil sikap dengan menetapkan standar bagi agensi hiburan.
Baca juga: Taliban Tangkap Tiga Tersangka Pengebom Masjid Suni di Afghanistan
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.