TEMPO.CO, Jakarta - Suara Bismillah Tahirzada dari ujung telepon terdengar parau saat menceritakan sulitnya hidup sebagai pengungsi. Tahirzada memulai perjalanan panjang sendirian sebagai pengungsi dari Afghanistan pada 2014 atau saat dia berusia 17 tahun.
Berbekal uang USD 9 ribu (Rp 127 juta) hasil menabung dan pinjaman dari abangnya, Tahirzada berharap bisa tiba di Australia dan membuka lembaran baru. Untuk sampai ke Negeri Kangguru itu, dia harus melewati Indonesia.
Akan tetapi siapa sangka, dia stuck di Indonesia sampai sekarang (7 tahun). Tahirzada bahkan tak tahu akan berapa lama lagi berada di Indonesia.
“Sudah 7 tahun lebih saya tidak ketemu keluarga. Selama ini cuma bertelepon. Terlalu sedih dan sulit hidup sebagai pengungsi,” kata Tahirzada kepada Tempo, Senin, 18 Oktober 2021.
Tahirzada menceritakan, di Afghanistan angka kriminalitas tinggi dan setiap hendak keluar rumah, dia bahkan suka berfikir bisakah kembali ke rumah dengan aman.
Di Indonesia, Tahirzada mengontrak sebuah rumah Rp 1,3 juta per bulan dengan temannya di Cawang, Jakarta Timur. Sebab kamp pengungsi di Kalideres sudah penuh.
Dia memiliki kartu pengungsi dari UNHCR, namun kartu ini hanya membolehkannya melakukan perjalanan di wilayah Jabodetabek. Selainnya, tidak bisa.
Sebagai pengungsi, Tahirzada hidup dalam lingkup yang terbatas. Sebab dia tidak memiliki hak untuk bekerja secara legal, tidak bisa membuka rekening di bank, tidak bisa membuat SIM, dan tidak bisa ke luar kota.
Hidup bagi Tahirzada sekarang ini seperti maju kena – mundur kena. Dia tidak bisa lagi pulang ke Afghanistan karena negara itu disebutnya tidak aman. Sebaliknya, dia juga belum bisa ditempatkan ke Australia karena Negeri Kangguru tersebut mengganti aturan soal penerimaan pengungsi sehingga proses pemindahan pengungsi ke negara ketiga itu membutuhkan waktu. Walhasil, Tahirzada masih stuck di Indonesia.
“Saya memutuskan untuk keluar dari Afghanistan karena tidak ada harapan untuk tinggal di sana. Semua keluarga saya berlindung ke Iran. Mereka tidak bisa ke Afghanistan lagi, apalagi sekarang sudah dikuasai Taliban,” kata Tahirzada.
Ketimbang menangisi nasib, Tahirzada memilih bangkit. Dia belajar bahasa Inggris dan belajar bahasa Indonesia sehingga mulai banyak mendapat teman-teman Indonesia.
Yang paling penting, Tahirzada memberanikan diri membuka usaha keripik kentang agar dapurnya tetap ngebul. Tahirzada belajar membuat keripik kentang yang dinamainya Ashi Mashi, melalui YouTube dan Google. Dia ikut pula kursus cara membangun bisnis, lewat program pelatihan hasil kerja sama UNHCR, ILO bersama UNIKA Atmajaya dan Dompet Dhuafa.
Di tempat pelatihan tersebut, Tahirzada mempromosikan keripik kentang Ashi Mashi buatannya. Mereka yang membeli, lalu memberikan masukan dan reaksinya bagus. Dia pun didorong untuk melanjutkan usaha keripik kentang tersebut dan tidak menyerah.
Tahirzada menjelaskan modal membuat keripik kentang ini cuma Rp. 500 ribu, itu pun uangnya dibantu oleh seorang kawan. Akhir 2018, keripik kentang Ashi Mashi resmi meluncur di pasaran, yang bisa dibeli melalui Tokopedia dan Shopee.
Sayang, pandemi Covid-19 telah membuat penjualan keripik kentang Ashi Mashi terseok-seok. Dalam seminggu, paling hanya ada satu order yang masuk. Berbeda dengan kondisi sebelum terjadi wabah virus corona, yang setiap hari selalu ada order masuk.
Ini adalah pukulan telak bagi Tahirzada karena dia sudah lama tak menerima bantuan apapun dari Pemerintah Indonesia dan lembaga lainnya. Padahal saat yang sama dia harus membayar uang kontrakan dan biaya hidup.
“Penurunan pembeli sampai 60 persen. Tapi sudah sebulan terakhir ini, penjualan agak naik. Setiap hari ada saja penjualan. Sebelum September 2021, seminggu paling cuma ada satu order masuk,” ujarnya.
Pada 2019 Tahirzada masuk dalam daftar orang yang berhak mendapat uang bantuan dari UNHCR sebesar Rp. 6 juta. Meski uang bantuan ini hanya sekali diterimanya, tetap saja Tahirzada merasa cukup beruntung. Pasalnya, Muhammad Saleh, 27 tahun, pengungsi etnis Rohingya dari Myanmar yang berlindung di Medan, mengaku tak menerima bantuan ini.
Sebelumnya PBB di Jakarta dalam keterangan 15 Oktober 2021 menyebutkan, telah mengucurkan pendanaan sebesar USD 1,7 juta (Rp 23 miliar) melalui UN Multi-Partner Trust Fund / COVID-19 MPTF. Langkah ini sebagai respons sosial ekonomi inklusif PBB terhadap COVID-19 #PemulihanInklusif.
Bekerja sama dengan Pemerintah dan mitra, PBB ingin memastikan kelompok rentan, termasuk para pengungsi yang ada di Indonesia agar tidak semakin tertinggal dan terpinggirkan dalam masyarakat dan pasar tenaga kerja.
Total ada 1.402 penerima manfaat sasaran melalui Covid-19 MPTF. Dari jumlah itu, 135 pengungsi mendapatkannya.
Data persebaran pengungsi di Indonesia sampai Agustus 2021 berdasarkan data UNHCR
UNHCR dalam keterangan kepada Tempo, Kamis, 21 Oktober 2021, menjelaskan pandemi telah mendatangkan banyak tantangan bukan hanya bagi sebagian orang di Indonesia, tapi juga banyak orang di seluruh dunia, termasuk para pengungsi.
Covid-19 mempersulit kondisi para pengungsi, setelah sebelumnya susah mencari pekerjaan karena status mereka sebagai pengungsi dan kendala bahasa.
UNHCR terus melakukan upaya advokasi agar para pengungsi bisa memiliki akses terhadap hak-hak dasar mereka, termasuk di dalamnya akses ke kesehatan, edukasi, pemberdayaan, dan sumber pencaharian.
Bukan hanya itu, UNHCR juga telah memberikan bantuan hak-hak pengungsi untuk menutup biaya kebutuhan mendasar (basic needs). Namun bantuan ini diakui Julia Zajkowski, Senior Protection Officer UNHCR, jelas tidak cukup. Walhasil, pihaknya mengucurkan bantuan lagi, yang kali ini fokusnya pada kelompok yang paling rentan.
Menurut Zajkowski, pengungsi harus dijaga hak dan martabatnya, diberikan ide pengembangan bisnis, misalnya di bidang kerajinan tangan, e-commerce dan usaha catering makanan khas asal negara mereka atau e-farming. Dengan begitu, mereka bisa berkontribusi pula pada ekonomi lokal.
Zajkowski meyakinkan, pihaknya terus berusaha membantu para pengungsi. Kementerian Kesehatan RI pada 27 September 2021 lalu telah membuka akses suntik vaksin virus corona untuk pengungsi.
Sekitar 30 persen anak pengungsi sudah mengikuti pendidikan di sekolah umum. Sedangkan untuk akses mendapatkan pekerjaan secara legal, diakui Zajkowski belum ada kerangka hukumnya bagi pengungsi di Indonesia soal ini. UNHCR masih mengusahakannya meski tanpa kerangka hukum, mengingat banyak sekali potensi.
“Ada banyak yang bisa dilakukan pengungsi untuk berkontribusi pada perekonomian. Kami sedang usahakan ini,” pungkasnya. #PemulihanInklusif
Baca juga: PBB Buat Program untuk Bantu Kelompok Rentan Hadapi Pandemi
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.