TEMPO.CO, Jakarta - Kudeta pemerintahan sipil oleh militer Myanmar menjadi sorotan dunia pada Februari 2021. Aung San Suu Kyi yang merupakan Pemimpin Partai National League for Democracy (NLD) menjadi salah satu pemimpin sipil yang diculik dalam kudeta tersebut. Hingga saat ini, Suu Kyi masih ditahan dan berada di bawah pengawasan Rezim Junta Militer Myanmar.
Belakangan ini, beberapa aktor politik internasional untuk menemui Aung San Suu Kyi mendapat tekanan. Salah satu upaya tersebut adalah dengan mengirimkan utusan khusus dari ASEAN, Erywan Yusof, untuk menemui Aung San Suu Kyi. Beberapa negara pun mendesak Junta Militer Myanmar untuk mengizinkan utusan tersebut bertemu dengan Aung San Suu Kyi.
Tidak tanggung-tanggung, sebagaimana dilansir dari channelnewsasia.com, negara-negara besar, seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Australia termasuk dalam 8 negara yang mendesak Myanmar.
Aung San Suu Kyi merupakan seorang figur politik yang sudah lama malang-melintang dalam perpolitikan Myanmar. Ia merupakan anak dari seorang pahlawan nasional Burma, Aung San. Dilansir dari britannica.com, Aung San dinobatkan menjadi pahlawan nasional Burma tidak lain karena dedikasinya dalam membebaskan negara tersebut dari kolonialisme Britania Raya pada 1940-an. Sementara itu, ibu Aung San Suu Kyi merupakan seorang diplomat terkenal dari Burma, Khin Yi.
Saat Aung San meninggal karena dibunuh, Aung San Suu Kyi masih berusia dua tahun. Ia pun meneruskan kehidupannya di Burma. Ia pun menempuh pendidikan di Burma hingga 1960. Setelah lulus pendidikan dasar, ia meneruskan pendidikan ke Universitas Oxford mengambil studi ilmu politik. Selepas lulus, karir politik Aung San Suu Kyi pun dimulai.
Puncak karir politik Aung San Suu Kyi terjadi ketika ia ditangkap oleh rezim militer Myanmar pada 1989. Ia diberi kesempatan untuk dibebaskan, tetapi ia menolak dan lebih memilih untuk menunggu hingga semua pejabat sipil dibebaskan oleh rezim militer Myanmar.
Ketika partai NLD yang dipimpin Aung San Suu Kyi memenangi lebih dari 80 persen suara pada Pemilu Myanmar pada 1990, rezim militer Myanmar belum membebaskannya. Bahkan, ketika ia mendapat penghargaan Nobel Perdamaian pada 1991, ia masih ditahan. Anak laki-lakinya, Alexander Aris, mewakili ibunya untuk menerima penghargaan tersebut. Berbagai penangkapan tersebut membuatnya menjadi salah satu pemimpin yang paling sering ditahan oleh rezim militer.
NAOMY AYU NUGRAHENI
Baca: Junta Militer Larang Utusan ASEAN Bertemu Aung San Suu Kyi