TEMPO.CO, Jakarta - Kelompok perlawanan rakyat Myanmar yang aktif di Wilayah Sagaing timur menuding pasukan Junta Militer yang berbasis di daerah tersebut menggunakan warga sipil setempat sebagai perisai manusia dalam upaya menangkis serangan.
Setelah berbulan-bulan menderita banyak korban, pasukan yang ditempatkan di Kotapraja Ayadaw mulai memaksa warga sipil penduduk desa untuk menemani mereka saat memasuki daerah di mana mereka berisiko disergap, kata kelompok itu.
Baca Juga:
“Mereka membuat warga sipil mendahului mereka ketika mereka menyerang desa. Dengan begitu, penduduk desa terluka jika kita menyerang, dan bukan mereka,” kata Yaung Pyan, anggota Tentara Pertahanan Rakyat (PDF) Ayadaw, seperti dikutip Myanmar Now, Rabu, 13 Oktober 2021.
Menurut Yaung Pyan, unit militer berbasis di desa Naung Gyi Aing dan Magyi Kan telah terlibat dalam praktik tersebut, yang dianggap sebagai kejahatan perang menurut hukum internasional.
Tuduhan itu muncul di tengah seruan untuk sanksi yang lebih keras terhadap rezim yang merebut kekuasaan pada 1 Februari. Pada hari Kamis, sebuah resolusi yang diadopsi oleh Parlemen Eropa mengutuk pelanggaran berat hak asasi manusia oleh junta, termasuk penggunaan kekerasan terhadap pengunjuk rasa.
Kelompok-kelompok anti-rezim mengatakan bahwa penggunaan perisai manusia oleh junta telah mempersulit mereka untuk menyebarkan ranjau darat sebagai sarana untuk menargetkan pasukan yang dikirim ke wilayah tersebut.
“Satu-satunya cara kita dapat mengatasi masalah ini adalah jika warga sipil mempersiapkan diri sehingga mereka siap untuk melarikan diri sebelum pasukan tiba atau ketika bentrokan dimulai,” kata Ba Oh, juru bicara sebuah kelompok yang menamakan dirinya Aliansi Revolusioner Ayadaw.
Serangan rezim di wilayah tersebut dilaporkan meningkat sejak mengumumkan gencatan senjata dengan kelompok etnis bersenjata yang aktif di tempat lain di negara itu akhir bulan lalu.
Gencatan senjata, yang akan berlaku hingga akhir Februari, tampaknya bertujuan untuk memungkinkan militer berkonsentrasi pada penumpasan kelompok-kelompok yang muncul setelah tindakan keras terhadap protes awal tahun ini.
Wilayah Sagaing kemungkinan akan menjadi titik fokus upaya junta, karena menjadi tempat pertempuran paling sengit sejak kudeta. Tidak ada kelompok etnis bersenjata besar yang berbasis di wilayah tersebut.
Rezim, yang telah menetapkan setiap kelompok penentang kekuasaannya sebagai organisasi teroris, mengalirkan bala bantuan ke wilayah tersebut sejak pertengahan September.
Menurut sumber lokal, penggerebekan yang melibatkan sebanyak 100 tentara dilakukan di desa-desa di kota Ayadaw, Pale, Wetlet, Budalin, Yinmarbin, Kani, Khin-U, dan Salingyi.
Ribuan warga mengungsi dari lebih dari 20 desa di Kotapraja Ayadaw saja, kata sumber tersebut.
Selain menggunakan penduduk desa sebagai tameng, tentara juga dituduh membantai warga sipil, membakar rumah, dan mencuri makanan dan barang berharga.
Di satu desa di Kotapraja Kani, tentara membunuh 12 warga, termasuk satu yang baru berusia 14 tahun, kata penduduk setempat kepada Myanmar Now dengan syarat anonim.
Sejauh ini belum ada pernyataan dari Junta Militer terkait tudingan ini.