TEMPO.CO, Jakarta - Selandia Baru pada Kamis mengesahkan undang-undang anti-terorisme baru yang melarang persiapan untuk serangan teror setelah tujuh orang ditikam dan terluka bulan ini di sebuah supermarket di kota terpadat di Auckland.
Di tengah meningkatnya ketakutan akan serangan teror tunggal, Selandia Baru telah berupaya untuk memperkuat undang-undang keamanannya, tetapi semakin mendesak undang-undang anti-terorisme itu melalui parlemen setelah serangan pisau di Auckland yang dilakukan oleh pria yang terinspirasi ISIS.
"Sifat terorisme telah berubah," kata Menteri Kehakiman Kris Faafoi, dikutip dari Reuters, 30 September 2021. "Di seluruh dunia ada lebih banyak aktor tunggal, daripada kelompok terorganisir yang lebih besar."
Langkah itu menarik undang-undang anti-terorisme Selandia Baru sejalan dengan sebagian besar negara lain, katanya.
Undang-undang anti-terorisme yang baru memberi polisi wewenang untuk masuk properti, mencari dan mengawasi tanpa surat perintah dalam upaya mereka untuk mencegah perencanaan dan persiapan tindakan teroris dan mengkriminalisasi pelatihan senjata atau pelatihan tempur untuk tujuan tersebut.
Penyerang Auckland adalah Aathil Mohamed Samsudeen, warga negara Sri Lanka berusia 32 tahun, yang ditembak mati oleh polisi beberapa saat setelah serangan. Dia telah dibebaskan pada bulan Juli setelah menghabiskan sekitar tiga tahun di penjara.
Perdana Menteri Jacinda Ardern mengatakan Samsudeen telah terinspirasi oleh kelompok militan ISIS untuk melancarkan serangan itu.
Pada tahun 2020, pihak berwenang tidak berhasil mendakwanya dengan pelanggaran terorisme setelah dia membeli pisau berburu dan ditemukan memiliki video ISIS.
Namun, seorang hakim memutuskan Samsudeen tidak melanggar undang-undang anti-terorisme Selandia Baru pada saat itu, akhirnya dia dibebaskan dan hanya ditempatkan di bawah pengawasan polisi 24 jam.
Baca juga: Pelaku Teror di Mal Selandia Baru Pernah Dipenjara dan Simpatisan ISIS
REUTERS