TEMPO.CO, Jakarta - Ratusan demonstran berkumpul di Ibu Kota Tunis, Tusia, pada Sabtu, 18 September 2021, berunjuk rasa melawan Presiden Tunisia Kais Saied, yang mengambil alih kekuasaan pada Juli 2021. Aksi protes ini bisa memicu sebuah krisis konstitusional dan tuduhan kudeta.
Demonstran berkumpul di jantung kota Tunis sambil meneriakkan kalimat ‘tutup kudeta’ dan kalimat ‘kami ingin kembali ke legitimasi’. Saat yang sama, puluhan pendukung Presiden Saied juga menggelar unjuk rasa tandingan sambil meneriakkan kalimat ‘masyarakat ingin parlemen dibubarkan’.
Presiden Tunisia Kais Saied (Sumber: Reuters/ Muahmmad Hamed)
Aparat kepolisian anti-huru-hara dipersenjatai lengkap. Itu adalah unjuk rasa pertama sejak Presiden Saied memecat Perdana Menteri Tunisia, membekukan sementara parlemen dan memegang otoritas eksekutif.
Dalam unjuk rasa Sabtu, 18 September 2021, terlihat cukup banyak aparat keamanan yang dikerahkan. Presiden Saied juga menunjuk banyak wajah baru untuk duduk sebagai pemimpin, yang akan menghadapi publik yang melawannya.
Aparat kepolisian menangani unjuk rasa yang pro-Presiden Saied dan kontra-Presiden Saied, sama adilnya.
Saied muncul ke permukaan setelah Tunisia selama bertahun-tahun mengalami kemandekan ekonomi dan kelumpuhan politik. Sekarang ini masyarakat Tunisia mulai waswas dengan sistem demokrasi yang baru dan hak-haknya, yang telah dimenangkan pada 2011 lalu lewat revolusi yang kemudian terkenal dengan sebutan Arab Spring.
Islamist Ennahda, partai terbesar yang duduk di parlemen Tunisa, awalnya menyebut tindakan Saied itu sebagai sebuah kudeta. Namun tuduhan tersebut mulai menurun dan tenang setelah intervensi Saied berkurang.
Baca juga: Politikus Berpengaruh Tunisia Dikenai Tahanan Rumah
Sumber: Reuters