TEMPO.CO, Jakarta - Keputusan Taliban untuk memasukkan pejabat-pejabatnya ke pemerintahan baru Afghanistan mengakhiri keberadaan perempuan di sana. Bahkan, Taliban pun menghapus keberadaan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dari daftar pos di pemerintahan baru Afghanistan.
Keputusan Taliban tersebut menjadikan Afghanistan sebagai satu dari sedikitnya negara di dunia yang tidak mengakui atau tidak memiliki perempuan di dalam pemerintahannya. Dikutip dari CNN, total hanya ada 12 negara yang pemerintahannya memenuhi kriteria tersebut.
Ke-12 negara adalah Azerbaijan, Armenia, Brunei. Korea Utara, Papua Nugini, Saint Vincent, Arab Saudi, Thailand, Tuvalu, Vanuatu, Vietnam, dan Yaman. Hal itu mengacu pada data dari Inter-Parliamentary Union. Adapun Taliban merasa sah-sah saja tak ada perempuan di pemerintahan mereka.
"Tidak perlu ada perempuan di Kabinet. Pentingkah ada perempuan di kabinet? Menurut saya itu malah membenani mereka dengan hal yang tidak cakap mereka lakukan. Hal positif apa yang bisa lahir dari situ?" ujar juru bicara Taliban, Sayed Zekrullah Hashimi, pada Rabu kemarin, 8 September 2021.
Sebelum Taliban mengambil alih, keberadaan perempuan di Pemerintahan Afghanistan sesungguhnya sudah minor. Mereka hanya mewakili 6,5 persen dari posisi yang tersedia di kabinet.
Seorang perempuan yang mengenakan Burqa berjalan melewati Pasukan Taliban yang memblokir jalan-jalan di sekitar bandara, di Kabul, Afghanistan. 27 Agustus 2021. Taliban juga melarang perempuan menekuni olahraga karena dinilai tidak sesuai dengan syariat Islam yang diyakini, dengan alasan khawatir bagian tubuh perempuan akan terekspose ketika berolahraga. REUTER/Stringer
Keberadaan perempuan di Parlemen Afghanistan juga minim pra-kedatangan Taliban. Walau begitu, presentasenya lebih besar dibanding situasi di kabinet. Menurut data IPU, 27 persen anggota Parlemen Afghanistan adalah perempuan. Angka itu sedikit lebih tinggi dibanding Amerika, 26,8 persen.
Angka 27 persen di Parlemen Afghanistan bertahan relatif lama. IPU mengatakan persentase tersebut dijaga Afghanistan sejak 2005 karena konstitusi mengatur minimum 68 dari 250 kursi harus ditujukan untuk perempuan. Sekarang, kelanjutannya tak jelas dengan Taliban mengambil alih pemerintahan.
"Dengan disingkirkannya perempuan dari mesin pemerintahan, Taliban mengirim sinyal yang salah saol niatan mereka membentuk pemerintahan yang terbuka dan inklusif."
"Kehadiran perempuan dalam aktivitas politik adalah syarat dasar untuk kesetaraan gender dan demokrasi yang sejati. Itu juga tes litmus untuk menilai inklusivitas dari sebuah pemerintahan," ujar Direktur Eksekutif UN (PBB) Women Paramila Patten.
Kebalikan dari Afghanistan dan 12 negara lainnya adalah Rwanda. Sebanyak 56 persen kursi di Parlemen Rwanda diisi oleh Perempuan. Selain Rwanda, ada Kuba, Nikaragua, Meksiko, dan UEA di mana keberadaan perempuan di Parlemen berada di kisaran 50 persen, kontras dengan Taliban.
Baca juga: Staf PBB di Afghanistan Dilecehkan sejak Taliban Berkuasa
ISTMAN MP | REUTERS