TEMPO.CO, Jakarta - Negara-negara Barat dan anggota ASEAN mengkhawatirkan deklarasi perang yang dinyatakan oleh Pemerintah Bayangan Myanmar (NUG) terhadap Junta Militer. Menurut mereka, deklarasi tersebut bisa mengancam keamanan warga Myanmar yang sudah terdampak oleh krisis pasca-kudeta.
Salah satu kekhawatiran datang dari Pemerintah Inggris. Duta Besar Inggris untuk Myanmar, Pete Vowles, menyarankan segala pihak yang berseteru di Myanmar untuk segera berdialog untuk mencegah konflik berkepanjangan.
"Kami mengecam kudeta dan brutalitas yang dilakukan oleh junta, namun kami juga mendesak segala pihak untuk segera berdialog," ujar Vowles, dikutip dari kantor berita Reuters, Rabu, 8 September 2021.
Kekhawatiran juga datang dari Malaysia. Menteri Luar Negeri Malaysia, Saifuddin Abdullah, mengatakan perkembangan terbaru di Myanmar bisa menghalangi penerapan lima poin konsensus ASEAN yang juga ia anggap kurang cepat diimplementasikan.
Perlu diketahui, lima poin konsensus Myanmar dibentuk pada pertemuan KTT ASEAN April lalu. Adapun fokus konsensus tersebut ada pada pembebasan tahanan, penyelesaian kekerasan, pengiriman bantuan kemanusiaan, dan mediasi segala pihak. Utusuan khusus ASEAN sudah ditunjuk untuk mendorong penerapan konsensus tersebut
Baca Juga:
"Saya bisa mengatakan bahwa kami frustrasi lima poin konsensus tidak bisa diwujudkan sesegera mungkin."
"Dengan perkembangan terbaru (deklarasi perlawanan oleh NUG), kami harus kembali ke perencanaan (penyelesaian krisis) lagi," ujar Abullah kesal.
Demonstran menunjukkan salam tiga jari selama protes untuk solidaritas terhadap Pasukan Pertahanan Rakyat Mandalay, di Yangon, Myanmar 22 Juni 2021, dalam tangkapan layar yang diperoleh Reuters dari video media sosial.[REUTERS]
Sementara itu, di Amerika, Kementerian Luar Negeri menyatakan mereka terus memantau perkembangan pasca-deklarasi perang. Mereka berharap kekerasan tidak dipakai baik oleh junta ataupun NUG untuk menyelesaikan krisis di Myanmar karena juga akan mengganggu pengiriman bantuan kemanusiaan.
"Kami tidak mendukung kekerasan sebagai solusi atas krisis di Myanmar. Kami meminta kedua belah pihak untuk berdamai," ujar keterangan pers Kementerian Luar Negeri Asia.
Cina, yang selama ini relatif lunak terhadap Junta Myanmar, konsisten dengan sikapnya. Mereka, yang memiliki kepentingan ekonomi di Myanmar, menyatakan tidak akan melakukan intervensi apapun atas situasi terbaru. Menurut Cina, intervensi hanya akan memperburuk situasi di Myanmar.
"Jika pertempuran terjadi dan dukungan diberikan ke kelompok pemberontak, maka ujungnya adalah pertempuran tidak henti," ujar Pemerintah Cina dalam medianya, Global Times.
Per berita ini ditulis, sejumlah pengunjuk rasa di Myanmar sudah merespon deklarasi perang itu dengan menghancurkan belasan menara komunikasi. Menara-menara tersebut dimiliki oleh perusahaan telekomunikasi milik Junta Myanmar, Mytel. Motivasi NUG, menghancurkan sarana yang mendukung bisnis Junta Myanmar merupakan salah satu strategi untuk melemahkannya.
Baca juga: Pemerintah Persatuan Nasional Deklarasikan Perang Melawan Junta Myanmar
ISTMAN MP | REUTERS