TEMPO.CO, Jakarta - Seorang aktivis Malaysia mengajukan gugatan terhadap pasal 233 Undang-Undang Komunikasi dan Multimedia, karena mengkriminalisasi komentar online yang dinilai ofensif.
Heidy Quah Gaik Li menuntut agar kata-kata "menyerang" dan "mengganggu" dalam pasal 233 Undang-Undang Komunikasi dan Multimedia dibatalkan karena tidak konstitusional.
Sidang akan diadakan di Pengadilan Tinggi Shah Alam pada 14 September 2021, tulis Malay Mail, Senin, 6 September 2021
Berdasarkan Pasal 233 (1)(a), seseorang yang membuat, atau meminta, dan memulai pengiriman komentar online apa pun yang “cabul, tidak senonoh, palsu, mengancam, atau menyinggung” dengan “niat untuk mengganggu, menyalahgunakan, mengancam, atau melecehkan orang lain” telah melakukan pelanggaran.
Mereka yang dinyatakan bersalah dapat didenda hingga RM50.000 (sekitar Rp 171 juta), atau hukuman penjara maksimum satu tahun atau keduanya.
Menurut Quah, pasal 233 bertentangan dengan Pasal 10(1) Konstitusi Federal, yang menjamin hak semua warga negara atas kebebasan berbicara dan berekspresi.
Namun, Pasal 10(2)(a) mengizinkan Parlemen untuk memberlakukan “pembatasan” atas dasar keamanan nasional, ketertiban umum atau moralitas, untuk melindungi hak istimewa parlemen, atau untuk mencegah penghinaan terhadap pengadilan, pencemaran nama baik, atau hasutan untuk pelanggaran apa pun.
Quah, yang merupakan pendiri Refuge for Refugees, didakwa bulan lalu karena dianggap melanggar Pasal 233 atas posting Facebook tentang dugaan penganiayaan pengungsi di pusat-pusat penahanan imigrasi. Persidangannya di sidang pengadilan belum dimulai, demikian freemalaysiatoday.com.