TEMPO.CO, Jakarta - Inggris telah mengumumkan sanksi baru untuk Myanmar dengan menargetkan perusahaan-perusahaan yang menjadi rekan bisnis pemerintah. Perusahaan-perusahaan tersebut diyakini telah menyediakan senjata dan dukungan keuangan terhadap kudeta militer yang dilakukan awal tahun ini.
Kementerian luar negeri Inggris mengatakan akan membekukan aset konglomerat Htoo Group of Companies dan pendirinya Tay Za. Taipan itu disebut terlibat dalam kesepakatan senjata atas nama militer. Kementerian juga mengatakan Htoo menyumbangkan dana untuk operasi pembersihan Rohingya pada 2017.
Inggris sebelumnya telah memberlakukan sanksi terhadap individu dan entitas di Myanmar setelah kudeta Februari. "Junta militer tidak menunjukkan tanda-tanda menghentikan serangan brutalnya terhadap rakyat Myanmar," kata Menteri Luar Negeri Inggris Dominic Raab dalam sebuah pernyataan seperti dikutip dari Al Jazeera, Jumat 3 September 2021.
Dia melanjutkan Inggris dan sekutunya akan membatasi akses junta ke keuangan dan pasokan senjata yang digunakan untuk membunuh orang-orang tak berdosa, termasuk anak-anak.
Inggris akan membekukan semua aset yang dipegang oleh Htoo Group dan Tay Za. Kedua taipan itu juga dilarang memasuki Inggris. Tay Za disebutkan sudah menjalin hubungan lama dengan junta sebelum kudeta militer.
Raab juga menuduh perusahaan memberikan dukungan pelanggaran hak asasi manusia yang serius dalam perannya dalam membantu militer untuk mendapatkan senjata.
Inggris telah memberikan sanksi kepada Myanmar Gems Enterprise, Myanmar Economic Corporation dan konglomerat lainnya yang berhubungan dengan militer yaitu Myanmar Economic Holdings Ltd.
Pada Juli, Amerika Serikat juga memberikan sanksi kepada sejumlah menteri Myanmar terkait dengan kudeta militer.
Kudeta militer di Myanmar pada Februari telah menewaskan sedikitnya 1.045 orang, menurut kelompok hak asasi Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik. Lebih dari 6.000 orang juga saat ini telah ditahan karena menentang penguasa militer.
Baca: Myanmar Pastikan Etnis Rohingya Dapat Vaksin Virus Corona
AL JAZEERA | REUTERS