TEMPO.CO, Jakarta - Politisi di Korea Selatan sedang mempertimbangkan membuat amendemen undang-undang yang ada untuk menjadikan "terorisme sperma" sebagai kejahatan seksual yang dapat dihukum.
Istilah terorisme sperma pertama kali muncul di antara pengguna internet Korea Selatan, setelah banyak laki-laki melakukan pelecehan seksual dengan mengejakulasi sperma ke barang-barang pribadi milik perempuan. Namun undang-undang saat ini hanya menggolongkan pelecehan semacam itu sebagai perusakan properti.
Denda kecil yang diberikan dalam kasus-kasus ini, sikap masyarakat terhadap seks, dan hak-hak perempuan di Korea Selatan semuanya mendapat sorotan dalam beberapa tahun terakhir karena gerakan #MeToo telah mengumpulkan momentum global.
Undang-undang kejahatan seks Korea Selatan saat ini menyatakan bahwa pelaku harus melakukan kekerasan atau intimidasi agar pelanggaran dianggap sebagai kejahatan seksual, menurut The Independent, 14 Agustus 2021.
Pada Mei, seorang pegawai negeri sipil pria di Seoul didenda US$2.500 (Rp36 juta) atas tuduhan "perusakan properti" karena ejakulasi ke dalam cangkir kopi rekan kerja perempuan enam kali dalam enam bulan, dari 20 Januari hingga 14 Juli tahun lalu, Insider melaporkan.
Aktivis perempuan Korea Selatan berunjuk rasa menolak berkembangnya wabah kamera tersembunyi untuk merekam diam-diam tubuh mereka lalu rekaman dijual ke situs porno. Korea Expose
Pada 2019, seorang mahasiswa pascasarjana dipenjara selama tiga tahun atas tuduhan "percobaan melukai" karena menyeduh kopi untuk seorang perempuan 54 kali dengan campuran sperma, dahak, obat pencahar, dan afrodisiak sebagai pembalasan karena menolak dorongan seksualnya, menurut Yonhap News.
Dan pada tahun 2018, Women's News melaporkan kasus seorang pria yang memasukkan kondom berisi spermanya ke dalam tas perempuan di stasiun kereta bawah tanah Seoul. Dia didakwa dengan pasal perusakan properti.
Pada Juli, Baek Hye-ryun, seorang anggota parlemen dari Partai Demokrat Korea Selatan, mengajukan amendemen ke majelis nasional Korea Selatan. Di bawah amandemen ini, Baek menyerukan terorisme sperma, yang termasuk dalam kategori "kontak nonfisik, agar dicap sebagai kejahatan seksual.
"Korban (dalam kasus gelas kopi) dipermalukan secara seksual, tetapi tidak dianggap sebagai kejahatan seksual karena tidak terlihat melibatkan kontak fisik langsung," kata Baek kepada The Guardian. "Dengan mendakwa pelaku dengan 'perusakan properti,' tindakannya dinilai telah melanggar kegunaan gelas itu."
"Kejahatan seks perlu ditafsirkan dari sudut pandang korban," kata Baek.
Korea Selatan dalam beberapa tahun terakhir telah melakukan perubahan besar untuk menangani kekerasan seksual terhadap perempuan.
Perempuan Korea Selatan sering menjadi target kejahatan seksual digital, dengan modus pelaku memasang kamera kecil di kamar mandi perempuan, kereta bawah tanah, dan kamar hotel untuk film "molka" atau film porno kamera tersembunyi.
Dari 6.465 orang yang dilaporkan melakukan pelanggaran terkait kejahatan seksual digital terkait "molka" di Korea Selatan pada 2019, 5.437 ditangkap, tetapi hanya 119 atau 2% yang dihukum.
Baca juga: Kejahatan Seksual Digital di Korea Selatan Kian Merajalela
THE INDEPENDENT | THE GUARDIAN | INSIDER | YONHAP