TEMPO.CO, Jakarta - Seorang juru bicara kantor politik Taliban mengatakan kepada Al Jazeera TV pada Selasa bahwa kelompok itu berkomitmen untuk jalur negosiasi perdamaian di Doha dan tidak ingin negosiasi itu gagal.
Seorang anggota delegasi pemerintah Afganistan dalam negosiasi Doha juga berbicara kepada saluran yang berbasis di Qatar, mengatakan pemerintah menuntut mediator dalam negosiasi untuk menentukan keseriusan para pihak.
Juru bicara Taliban mengatakan bahwa pemerintah Afganistan yang menolak prinsip mediator, bukan Taliban, menurut Al Jazeera.
"Kami meminta masyarakat internasional untuk menilai secara akurat realitas di lapangan," katanya, dikutip dari Reuters, 11 Agustus 2021.
Anggota delegasi pemerintah Afganistan mengatakan kepada Al Jazeera bahwa Taliban tidak tertarik untuk bernegosiasi, melainkan dalam mencapai tujuannya dengan kekerasan.
"Komunitas internasional harus menekan Taliban untuk menunjukkan keseriusan," kata delegasi itu.
Anggota Pasukan Khusus Afganistan bersiap-siap sebelum misi tempur melawan Taliban, di Provinsi Kandahar, Afganistan, 11 Juli 2021.[REUTERS/Danish Siddiqui]
Pembicaraan antara Taliban dan pemerintah Afganistan pada kesepakatan damai, yang didukung oleh Amerika Serikat dan sekutunya, telah gagal membuat kemajuan yang signifikan.
Gerilyawan Taliban menguasai sekitar 65% wilayah Afganistan, setelah membuat kemajuan pesat melawan pasukan lokal yang sebagian besar berjuang sendiri saat pasukan asing mundur, Reuters melaporkan.
Presiden AS Joe Biden mengatakan rakyat Afganistan harus berjuang untuk negara mereka sendiri ketika Taliban merebut kota demi kota. Biden pada Selasa mengatakan dia tidak menyesali keputusannya untuk menarik pasukan AS, menekankan bahwa AS telah menghabiskan lebih dari US$1 triliun (Rp14.395 triliun) selama 20 tahun dan kehilangan ribuan tentara. Joe Biden mengatakan Amerika Serikat terus memberikan dukungan udara, makanan, peralatan, dan keuangan yang signifikan kepada pasukan Afganistan melawan Taliban.
Baca juga: Uni Eropa: Taliban Telah Menguasai 65 Persen Afghanistan
REUTERS | AL JAZEERA