TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah Afghanistan menerapkan kebijakan jam malam untuk memperlamban ekspansi Taliban. Dikutip dari kantor berita Al Jazeera, kebijakan tersebut diterapkan di 31 (dari total 34) provinsi Afghanistan.
"Jam malam akan berlaku dari pukul 22.00 hingga 04.00," ujar Deputi Menteri Dalam Negeri Afghanistan, Ahmad Zia Zia, Ahad, 25 Juli 2021.
Seperti diberitakan sebelumnya, perginya tentara Amerika dari Afghanistan membuat Taliban kian agresif memperluas wilayah kekuasaannya. Mereka memilih untuk melanggar kesepakatan damai yang diteken bersama Afghanistan dan Amerika tahun lalu.
Per berita ini ditulis, Taliban telah menguasai lebih dari 50 persen distrik Afghanistan. Mereka mengincar distrik-distrik penting, terutama di wilayah perbatasan, untuk memperkuat pengaruhnya dan juga memojokkan tentara Afghanistan.
Hal tersebut tak ayal membuat warga Afghanistan khawatir akan keselamatan mereka. Mereka takut menjadi subjek kekerasan Taliban yang memiliki pandangan esktrim soal Islam Sunni. Di sisi lain, Taliban juga anti terhadap warga Afghanistan yang pernah bekerja untuk Amerika.
Baca Juga:
Anggota Pasukan Khusus Afghanistan pergi setelah misi tempur melawan Taliban, di provinsi Kandahar, Afghanistan, 13 Juli 2021. REUTERS/Danish Siddiqui
Fahim Sadat, Kepala Departemen Hubungan Internasional di Universitas Kardan, menyatakan bahwa diberlakukannya jam malam adalah tanda situasi di Afghanistan kian serius. Pemerintah Afghanistan, kata Sadat, berusaha menunjukkan ke warga bahwa perang telah datang di dekat rumah mereka.
"Pemerintah Afghanistan ingin mengawasi dan membatasi pergerakan dari satu wilayah ke wilayah yang lain."
"Jam malam mengirim pesan ke lokasi-lokasi padat penduduk bahwa perang telah datang dan Afghanistan berharap warga dan berkontribusi semampu mungkin (dalam melawan Taliban)," ujar Sadat.
Pemerintah Daerah Parwan menyatakan siap mengikuti kebijakan jam malam. Juru bicara Pemda Parwan, Wahida Shahkar, mengatakan jam malam akan diberlakukan sebagai langkah antisipasi walaupun situasi wilayahnya aman sejauh ini.
Taliban, secara terpisah, menyatakan tidak akan ada damai di Afghanistan hingga ada negosiasi baru dan Presiden Ashraf Ghani turun dari jabatannya. "Kami tidak percaya terhadap monopoli kekuasaan di Afghanistan. Belajar dari pengalaman, pemerintahan yang monopolistik adalah pemerintahan yang buruk," ujar juru bicara Taliban Suhail Shaheen.
Baca juga: Amerika Serikat Kucurkan Dana Darurat untuk Pengungsi Afganistan Rp 1,4 T
AL JAZEERA | ISTMAN MP