TEMPO.CO, Jakarta - Langkah Pemerintah Inggris mencabut lockdown dan segala kewajiban pembatasan sosial pada 19 Juli nanti dianggap mengabaikan segala peringatan. Beberapa pakar berkata, data yang ada menunjukkan kasus COVID-19 akan terus naik dalam beberapa waktu ke depan.
Salah satu kritik atang dari Sir Patrick Vallance, Kepala Penasihat Saintifik Pemerintah Inggris. Ia berkata, meski keterkaitan antara kasus dengan kematian ataupun kepadatan rumah sakit melemah, hal itu tak menandakan pandemi akan usai dalam waktu dekat. Oleh karenanya, Inggris perlu bersiap menghadapi kenaikan kasus.
"Kita sidah menghadapi kenaikan epidemi saat ini. Oleh karenanya, kita perlu bertindak sebaik mungkin untuk menekan penyebaran virus COVID-19," ujar Vallance, dikutip dari Sky News, Selasa, 6 Juli 2021.
Vallance melanjutkan, kebijakan yang diambil PM Inggris Boris Johnson sejauh ini tidak menunjukkan adanya kekhawatiran terhadap potensi kenaikan kasus COVID-19. Hilangnya kewajiban formal untuk kontak sosial, mulai dari acara berkumpul hingga pemakaian masker, dianggap malah akan membantu kenaikan kasus COVID-19.
Orang-orang, beberapa mengenakan masker, berjalan di atas Jembatan Westminster, di tengah pandemi penyakit virus corona (COVID-19), di London, Inggris, 4 Juli 2021.[REUTERS/Henry Nicholls]
Kritik senada datang dari penasihat psikologis tingkah laku Pemerintah Inggris, Stephen Reicher. Ia berkata, pencabutan lockdown oleh PM Boris Johnson malah akan membuat masyarakat berpikir tak ada bahaya lagi di sekitar mereka. Padahal, realitanya, ancaman COVID-19 masih ada dan nyata.
"Jika kita ingin situasi tetap aman, kita membutuhkan pesan yang jelas (kepada masyarakat). Untuk saat ini, saya merasa pesan yang ada malah menunjukkan seolah-olah tidak ada masalah sama sekali."
"Faktanya, pelonggaran segala batasan memberikan pesan yang sangat jelas bahwa tidak ada masalah sama sekali di Inggris. Hal itu akan berdampak pada perilaku masyarakat secara signifikan," ujar Reicher menegaskan.
Boris Johnson, sejauh ini, bersikeras bahwa lockdown tetap perlu dicabut dan Inggris sudah siap untuk hidup bersama virus COVID-19. Kebijakan normal baru pun sudah disiapkan, katanya.
Tiga mahasiswi Sophie Langford, Emily Campbell, dan Tamzida Mulai berjalan ke pusat vaksinasi massal di Liverpool Pier Head yang menawarkan vaksin Covid-19 langsung di tempat di Liverpool, Inggris, 23 Juni 2021. [REUTERS/Jason Cairnduff]
"Kita harus jujur pada diri sendiri. Jika kita tidak mencabut lockdown beberapa pekan ke depan, di mana kita akan terbantu oleh musim panas dan liburan sekolah, lalu kapan kita akan kembali ke normalitas?" ujar Johnson menegaskan.
Johnson mengakui bahwa ia menerima masukan dan peringatan untuk menunda pencabutan lockdown COVID-19. Namun, ia memilih untuk bertaruh dengan pencabutan yang penuh kehati-hatian dan tidak bisa dibatalkan.
"Untuk mereka yang mengatakan kita harus menunda pencabutan lockdown; pilihannya adalah mencabutnya saat musim dingin di mana malah memberi keuntungan pada virus," ujar Johnson.
Per berita ini ditulis, Inggris tercatat memiliki 4,9 juta kasus dan 128 ribu korban meninggal akibat COVID-19. Beberapa pekan terakhir, pertumbuhan kasus COVID-19 di Inggris menunjukkan tren meningkat. Dari yang awalnya di bawah lima ribu per hari di bulan Mei, sekarang naik menjadi di atas 20 ribu kasus per hari. Varian Delta dianggap sebagai dalang dari tren peningkatan itu.
Meski tren kasus meningkat, hal serupa tidak terjadi untuk tren rumah sakit dan kematian. Dibanding gelombang kedua pandemi COVID-19 Inggris pada September lalu, tren kepadatan rumah sakit dan kematian relatif rendah.
Baca juga: Inggris Umumkan Rencana New Normal, Bersiap Cabut Lockdown pada 19 Juli
ISTMAN MP | SKY NEWS | REUTERS