TEMPO.CO, - Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melaporkan 230 ribu orang telah mengungsi dan sangat membutuhkan bantuan akibat kekerasan di Myanmar. Negara itu berada dalam krisis sejak panglima militer Min Aung Hlaing memimpin kudeta terhadap pemerintah terpilih pada Februari hingga memicu protes nasional, gerakan pembangkangan sipil massal, dan pembentukan tentara sipil.
"Pengungsi serta masyarakat di daerah yang terkena bencana sangat membutuhkan berbagai bantuan kemanusiaan, termasuk makanan dan bahan dasar rumah tangga, tempat tinggal, akses ke perawatan kesehatan, air dan sanitasi, serta berbagai layanan perlindungan, termasuk dukungan psikososial," bunyi laporan Kantor PBB itu dikutip dari Al Jazeera, Jumat, 25 Juni 2021.
Badan PBB itu mengatakan operasi bantuan sedang berlangsung tetapi terhambat oleh bentrokan bersenjata, kekerasan, dan ketidakamanan di Myanmar.
OCHA melaporkan 177 ribu orang telah mengungsi di negara bagian Karen yang berbatasan dengan Thailand sementara lebih dari 20 ribu orang berlindung di 100 daerah pengungsian setelah pertempuran antara Pasukan Pertahanan Rakyat dan tentara di Negara Bagian Chin yang berbatasan dengan India.
Ribuan orang juga melarikan diri dari pertempuran di negara bagian Kachin dan Shan utara, wilayah di mana tentara etnis minoritas yang mapan telah lama berperang melawan militer
Persatuan Nasional Karen (KNU), salah satu kelompok bersenjata etnis minoritas terkemuka Myanmar, menyatakan keprihatinan tentang hilangnya nyawa warga sipil, meningkatnya kekerasan dan penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh militer di seluruh Myanmar. “KNU akan terus berjuang melawan kediktatoran militer dan memberikan perlindungan sebanyak mungkin kepada orang-orang dan warga sipil yang tidak bersenjata,” katanya dalam sebuah pernyataan.
Protes anti-kudeta terjadi di Negara Bagian Kachin, Dawei, Wilayah Sagaing dan ibu kota komersial Yangon pada Kamis. Para demonstran membawa spanduk dan membuat gerakan tiga jari untuk menentang.
Beberapa menunjukkan dukungan bagi mereka yang menentang kekuasaan militer di Mandalay, kota terbesar kedua Myanmar, di mana terjadi baku tembak antara tentara dan kelompok pemberontak yang baru dibentuk pada Selasa, tanda pertama bentrokan bersenjata di pusat kota besar sejak kudeta.
Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP) melaporkan 877 warga sipil tewas sejak kudeta dimulai ketika aksi protes dihadapi dengan tindakan keras dari militer.
Sebuah resolusi PBB yang disahkan pekan lalu mengutuk kudeta dan menuntut militer Myanmar “segera menghentikan semua kekerasan terhadap demonstran damai”, yang terus turun ke jalan setiap hari. Resolusi Majelis Umum PBB ini juga menyerukan embargo senjata global terhadap militer Myanmar.
Baca juga: Pasukan Pertahanan Rakyat Myanmar Nyatakan Perang Terhadap Junta Militer
Sumber: AL JAZEERA