TEMPO.CO, Jakarta - Presiden terpilih Iran, Ebrahim Raisi, pada Senin mengatakan prioritas kebijakan luar negeri Iran akan meningkatkan hubungan dengan negara tetangga Teluk Arab, sambil menyerukan saingan regional Arab Saudi untuk segera menghentikan intervensinya di Yaman.
Ebrahim Raisi, 60 tahun, seorang kritikus garis keras Barat, akan mengambil alih presiden moderat Hassan Rouhani pada Agustus ketika Iran berusaha untuk menyelamatkan perjanjian nuklir Iran yang macet dan menyingkirkan sanksi AS yang telah melumpuhkan ekonomi Iran.
Raisi mengatakan kebijakan luar negeri Iran tidak akan terbatas pada kesepakatan nuklir.
"Iran ingin berinteraksi dengan dunia...Prioritas pemerintah saya adalah meningkatkan hubungan dengan tetangga kami di kawasan itu," katanya pada konferensi pers pertamanya di Teheran, yang disiarkan oleh media pemerintah, sejak memenangkan pemilihan Jumat, dilaporkan Reuters, 21 Juni 2021.
Namun dia meminta Arab Saudi dan sekutunya harus segera menghentikan campur tangan mereka di Yaman. Koalisi militer yang dipimpin Saudi melakukan intervensi dalam perang Yaman pada 2015 setelah kelompok Houthi yang didukung Iran mengusir pemerintahnya keluar dari ibu kota Sanaa. Konflik tersebut sebagian besar mengalami kebuntuan selama beberapa tahun.
Presiden Iran Hassan Rouhani dan Presiden terpilih Iran Ebrahim Raisi berbicara kepada media setelah pertemuan mereka di Teheran, Iran 19 Juni 2021. Presiden Iran Hassan Rouhani yang mundur pada Sabtu (19 Juni) memberi selamat kepada hakim garis keras Ebrahim Raisi, yang menang telak dalam pemilihan presiden Iran. [Situs web resmi Kepresidenan Iran/Handout via REUTERS]
Pejabat Iran dan Barat mengatakan terpilihnya Raisi tidak mungkin mengubah sikap negosiasi Iran dalam pembicaraan untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir, sebab Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei sudah memiliki keputusan akhir tentang semua kebijakan utama Iran.
Lebih lanjut Raisi mengatakan Amerika Serikat telah melanggar kesepakatan dan Uni Eropa telah gagal memenuhi komitmennya.
"Saya mendesak Amerika Serikat untuk kembali ke komitmennya pada kesepakatan itu... Semua sanksi yang dikenakan pada Iran harus dicabut dan diverifikasi oleh Teheran," katanya. Ditanya apakah dia akan bertemu dengan Presiden AS Joe Biden jika sanksi itu dicabut, Raisi hanya menjawab "Tidak".
Negosiasi telah berlangsung di Wina sejak April untuk mencari tahu bagaimana Iran dan Amerika Serikat dapat kembali mematuhi perjanjian nuklir Iran, yang ditinggalkan AS pada 2018 di bawah Presiden Donald Trump saat itu dan kemudian menerapkan kembali sanksi terhadap Iran.
Iran kemudian melanggar batas kesepakatan pengayaan uranium, yang dirancang untuk meminimalkan risiko mengembangkan potensi senjata nuklir. Iran telah lama membantah memiliki ambisi semacam itu.
Ebrahim Raisi mengatakan program rudal balistik Iran tidak dapat dinegosiasikan, meskipun ada tuntutan oleh negara-negara Barat dan Teluk Arab agar program itu dimasukkan dalam pembicaraan yang sedang berlangsung untuk menghidupkan kembali perjanjian nuklir.
"Masalah regional dan rudal tidak bisa ditawar. Mereka (Amerika Serikat) tidak mematuhi kesepakatan sebelumnya, bagaimana mereka ingin masuk ke diskusi baru?" kata Raisi.
Raisi berada di bawah sanksi AS di masa lalu, yang menurut Amerika Serikat dan kelompok hak asasi manusia, karena keterlibatannya dalam pembunuhan di luar proses hukum terhadap ribuan tahanan politik di Republik Islam Iran pada 1988.
Dalam sambutannya pada hari Senin, Raisi mengatakan bahwa dia harus diberi penghargaan karena membela hak dan keamanan rakyatnya.
Ebrahim Raisi mengatakan sebagai ahli hukum, dia selalu membela hak asasi manusia, menambahkan bahwa sanksi AS terhadapnya atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia telah dijatuhkan padanya karena melakukan pekerjaannya sebagai hakim.
Baca juga: Profil Ebrahim Raisi, Hakim Garis Keras yang Menang Pilpres Iran
REUTERS