TEMPO.CO, Jakarta - Ebrahim Raisi, hakim garis keras dan orang kepercayaan Pemimpin Agung Ayatollah Ali Khamenei, kian dekat ke kursi Presiden Iran. Perhitungan suara sejauh ini mengunggulkan dirinya atas para pesaingnya, Abdolnaser Hemmati dan Mohsen Rezaei.
Dikutip dari CNN, perhitungan suara sudah berjalan 90 persen di Iran. Suara yang diperoleh Raisi berjumlah 17,8 juta suara. Mohsen Rezaei berada di posisi kedua dengan 3,3 juta sementara Abdolnaser Hemmati posisi terakhir dengan 2,4 juta suara. Dengan kata lain, sudah pasti Raisi akan menjadi Presiden Iran dan potensial diumumkan Sabtu ini, 19 Juni 2021.
Keunggulan Raisi sesungguhnya sudah diprediksi oleh para pakar. Dengan dukungan kuat kelompok konservatif dan garis keras di belakangnya, termasuk Khamenei, sulit bagi Raisi untuk kalah. Itulah kenapa beberapa pakar menyebut hasil pemilu Iran sesungguhnya sudah di-setting untuk mempertahankan kuasa ulama garis keras meski ada desakan reformasi.
"Raisi adalah orang kepercayaan Khamenei. Dia bisa melanjutkan apa yang sudah dibentuk oleh Khamenei," ujar Deputi Direktur Chatham House's Middle East and North Africa Program, Sanam Vakil, dikutip dari kantor berita Reuters.
Di Iran, Raisi dikenal untuk banyak hal. Selain sebagai salah satu penentang pengaruh Barat dan loyalis Khamenei, dia juga dikenal sebagai hakim yang gemar memberikan eksekusi mati.
Ebrahim Raisi. Wallstreetjournal.com
Selama menjadi hakim, ia dilaporkan Amnesty International sudah mengetok palu eksekusi mati untuk kurang lebih 5000 orang. Mayoritas di antaranya adalah tahanan politik yang dieksekusi di tahun 1988. Menurut kabar yang beredar, mereka yang mati karena vonis dari Raisi dimakaman di kuburan massal tersembunyi dan tanpa tanda.
Tahun 2019, tak lama setelah Raisi diangkat oleh Khamenei menjadi Hakim Agung, Amerika menjatuhkan sanksi kepadanya. Ia dianggap sudah melanggar hak asasi manusia ketika mengeksekusi mati ribuan tahanan politik serta menggunakan pengadilan untuk menekan pelaku unjuk rasa di Iran. Sanksi itu masih berlaku.
"Jika Raisi terpilih, maka ia menjadi Presiden Iran pertama yang sudah disanski sebelum menjabat dan berpotensi mendapat sanksi lagi ketika menjabat," ujar pakar politik Iran, Jason Brodsky.
Selama kampanye pemilu Iran, Raisi tidak menjanjikan banyak hal selain perbaikan ekonomi Iran dan pemberantasan korupsi. Ia sadar betul bahwa tantangan pertama yang harus ia hadapi adalah ambruknya perekonomian Iran karena berbagai faktor mulai dari COVID-19, korupsi, serta sanksi dari Amerika.
Ebrahim Raisi berencana mengakhiri sanksi Amerika dengan mengupayakan Iran kembali ke Perjanjian Nuklir 2015 (JCPOA). Amerika menjanjikan Iran pengangkatan sanksi apabila mereka mau menekan program pengayaan nuklirnya ke dalam batas yang sudah ditetapkan enam tahun lalu.
Baca juga: Mahmoud Ahmadinejad Pilih Golput di Pilpres Iran
ISTMAN MP | CNN | REUTERS