TEMPO.CO, Jakarta - Empat bulan berlalu, krisis di Myanmar belum sepenuhnya usai. Di wilayah-wilayah perbatasan, kelompok etnis bersenjata dan warga sipil menggelar latihan militer bersama untuk merespon serangan-serangan berikutnya dari junta militer. Mereka sadar junta bisa menyerang sewaktu-waktu, baik dari darat maupun udara.
Pemerintah bayangan Myanmar, National Unity Government (NUG), mengaku tidak bisa mencegah kelompok etnis bersenjata dan warga bersiap untuk perang. Situasi perang saudara, menurut mereka, sulit dihindari di saat junta militer berkali-kali melakukan serangan bersenjata. Apalagi, sudah ada ratusan ribu warga di perbatasan Myanmar yang kehilangan rumah akibat aksi junta militer.
"Hukum pertama dari angkatan bersenjata adalah melindungi warga, bukan malah menyerang mereka seperti sekarang. Jadi, warga Myanmar tidak memiliki pilihan selain bertahan dari para pembunuh itu," ujar Menteri Kerjasama Internasional dari NUG, Dr. Sasa, ketika berbincang dengan Tempo Senin pekan lalu, 7 Juni 2021.
Dr. Sasa berkata, perang saudara hanya akan terhenti apabila Militer Myanmar berniat dan berkomitmen untuk menghentikan serangan bersenjata. Hal itu, kata ia, juga sudah disebut dalam lima poin konsensus ASEAN. Sayangnya, kata Dr. Sasa, belum terlihat niatan itu dari pihak militer.
Pangkalan militer Myanmar di tepi Sungai Salween terbakar, di Provinsi Mae Hong Son, Thailand, 27 April 2021. Kelompok pemberontak Persatuan Nasional Karen (KNU) mengklaim berhasil menyerang dan mengambil alih pangkalan militer Myanmar di wilayah perbatasan dengan Thailand. REUTERS/Athit Perawongmetha
Menurutnya, sekalinya Panglima Militer Myanmar Min Aung Hlaing memerintahkan angkatan bersenjatanya untuk berhenti menyerang, maka kelompok etnis bersenjata dan warga juga akan menghentikan upaya bertahannya. Perkara bagaimana mendorong Min Aung Hlaing menghentikan serangannya, Dr. Sasa mengatakan hal itu perkara lain.
"Jika hari ini Min Aung Hlaing menarik pasukannya dari kota, perdesaan, dan kemudian menempatkan mereka di barak, saya bisa janjikan masyarakat sipil dan kelompok etnis bersenjata tidak akan melakukan serangan pertahanan," ujar Dr. Sasa.
Dr. Sasa menambahkan bahwa tidak semua personil Militer Myanmar buruk. Beberapa dari mereka melakukan serangan dalam kondisi terpaksa, untuk melindungi nyawa mereka sendiri. Strategi NUG ke depannya, kata ia, adalah memberikan jaminan keamanan pada personil-personil yang potensi menjadi desertir itu.
Per berita ini ditulis, hampir 900 orang terbunuh oleh junta militer selama krisis Myanmar berlangsung. Selain itu, ada juga 6000 perempuan dan pria yang dipenjara sebagai tahanan politik tanpa alasan yang jelas.
Krisis Myanmar berawal dari kudeta pada 1 Februari lalu di mana Min Aung Hlaing menculik Penasihat Negara Aung San Suu Kyi dan Presiden Wyin Mint. Pemicunya adalah kekalahan partai afiliasi militer di pemilu 2020 dan keyakinan mereka partai pemerintah telah berbuat curang.
Baca juga: Junta Militer Tangkap Eks Kepala Program Imunisasi Covid-19 Myanmar
ISTMAN MP